studiohanafi.com studiohanafi.com studiohanafi.com
Navigation
  • PROFIL
    • Profil Hanafi
    • Manajemen
    • Kontak
  • GALERIKERTAS
    • Aktivitas Galerikertas
    • Catatan Pameran
    • Artikel Galerikertas
    • Katalog Galerikertas
  • RUANG
    • Artspace
    • Perpustakaan
  • AKTIVITAS
    • Aktivitas Hanafi
      • Tubaba
    • Aktivitas Artspace
    • Aktivitas Perpustakaan
  • KOLABORASI
    • Tubaba
    • Vida Festival 2018
  • ULASAN

Waktu/ Times

Share!

0shares

hanafi dan kota dari endapan waktu

 

Pohon-pohon datang lagi ke dalam diri saya, bersama angin. Warna yang hijau dan tanah. Tetapi juga tidak hanya itu, pancangan tiang-tiang listrik, perumahan-perumahan baru berbeton dan pagar-pagar tinggi, pabrik, toko-toko kecil. Pemandangan itu datang seperti lembaran-lembaran buku yang terpisah-pisah satu sama lainnya, ketika saya berjalan menuju rumah Hanafi dari Ciputat memotong menuju Sawangan. Potongan-potongan kota yang tidak jelas lagi kaitan satu sama lainnya.

Perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan telah melepaskan ikatan-ikatan tersebut. Kawasan kota pinggiran ini terkesan ringkih, kikuk mengahadapi dirinya sendiri, kehilangan pusat keberadaannya untuk bisa merajut pecahan satu dengan lainnya. Kota seperti klip yang terserak. Tetapi pohon tidak berubah, batu tidak berubah, daun tidak berubah. Masih ada waktu yang berwarna hijau dan biru.

Proses rekonstruksi dalam memori saya berlangsung secara terbuka, patah-patah dan mencemaskan, yang datang dari kawasan kota yang telah kehilangan pusat penurunan strukturnya sendiri. Strukturnya kemudian tumbuh secara terbuka dalam proses bagaimana memori saya memposisikan kembali seluruh fragmentasi pinggiran kota itu. Siapakah yang akan merajutnya kembali? Perlukah ia dirajut kembali? Dari manakah datangnya kebutuhan untuk melakukan rajutan itu? Dari manakah saya dan Hanafi, atau siapapun punya kebutuhan untuk melakukan perajutan itu? Persoalannya mungkin bukan lagi kebutuhan. Melainkan kehendak dari setiap manusia untuk membuat hubungan-hubungan yang signifikan dari setiap sentuhan kehidupan yang berada di sekitarnya.

Di rumah Hanafi, Dinda, istri Hanafi, yang sebelumnya tinggal di Bandung, mengatakan pada saya bahwa Bandung semakin tidak menarik. Semakin sama dengan Jakarta. Fragmentasi kota seperti itu rupanya memang merupakan reprsentasi dari kebanyakan kota-kota besar, termasuk perluasan kota di wilayah sekitarnya. Ketika itu Hanafi sedang makan siang, dan menawarkan abon kepada saya. “ini abon dari Aceh,” katanya, “ada ganjanya.” Padahal abon itu terbuat dari ikan. Dan saya tidak memakannya. Saya masih sibuk dengan lintasan-lintasan kota, dan kini datang lagi soal, abon, ganja, ikan dan Aceh. Dunia pikiran kami rupanya juga tidak berbeda jauh dengan kenyataan ruang fregmentasi yang direpresentasi oleh kenyataan kota. Dan kemudian merajutnya kembali menjadi narasi baru.

Dalam lukisan-lukisan Hanafi, saya menemukan kembali rajutan-rajutan itu. Kota yang rajutannya berusaha ditemukan kembali lewat warna, blok-blok atau bidang. Blok-blok itu kadang seperti ruang sebagai monster yang mencekam, teror ruang. Blok-blok yang menggenang, kadang bergerak lamban, menekan, kadang menyerap dengan daya hisap yang tak berbatas. Sebuah komunikasi dari gerak pikiran yang harus ditemukan kembali dalam kensekuensi-konsekuensi oleh hadirnya perwujudan-perwujudan yang berada di dalamnya. Kota yang menghadirkan kembali manifestasi yang biru, manifestasi hitam-putih, manifestasi warna perak, merah jingga, kuning dan hijau.

Setiap orang melangkah, yang tertinggal di belakangnya menjadi kenangan, menjadi catatan. Waktu ikut berhenti sebagai catatan, tanda peristiwa. Sementara di depan, waktu yang terus bergerak. Waktu yang berusaha terus dikejar dengan warna hijau dari cinta, hitam-putih yang agung dan sedih, biru yang mengharukan, ruang menjadi sebuah peringatan tentang waktu, manifestasi waktu dari sesuatu yang telah hilang maupun dari Sesuatu yang tak pernah hilang. Lukisan-lukisan tentang kehilangan dan keabadian yang mengharukan.

Sebagian besar lukisan-lukisan Hanafi memang seperti halaman-halaman dalam buku, bab demi bab, sebuah susunan. Lukisan berjudul kota, terdiri dari delapan keping lukisan pipih vertikal. Bagian kiri sebuah hamparan warna perak yang terbentang. Bagian kanan, sebuah hamparan merah jingga. Di pusat ada gerak dinamik. Sesuatu yang menghisap, yang membawa kita kepada konsekuensi ruang untuk terus bergerak ke kiri atau ke kanan. Tetapi ke kiri (hamparan perak), maupun ke kanan (hamparan merah jingga), kedua-duanya sama-sama menyimpan rasa kehilangan, ruang yang tak terjangkau, suasana yang tak terjangkau, suasana tanpa kondisi. Sebuah genangan waktu tanpa idenitas.

Hanafi masih percaya pada susunan. Kepingan-kepingan lukisannya seperti nomor-nomor yang susunannya memang sudah seharusnya begitu. Dia tidak mau berbuat kesalahan terhadap otoritas susunan, kemutlakan ruang terhadap sususnannya sendiri. Tetapi ruang memiliki kemungkinan munculnya mekanisme gerak di luar dugaan ketika pemikiran kita ikut merambahi ruang itu. Pada momen yang menentukan inilah, dan penonton harus mengambil inisiatif untuk mengacaukannya. Mencari sebuah susunan baru, sebuah kemungkinan lain dari kepingan lukisan yang sama. Waktu akhirnya adalah kreatifitas dan ruang untuk refleksi yang harus direbut kembali oleh penonton lewat lukisan-lukisan Hanafi.

Hanafi kemudian membuka pintu rumahnya. Dunia luar masuk kembali. Ruang ekstenal hadir kembali. Dan lukisan-lukisannya, seperti jendela waktu yang hidup secara personal, untuk mencari hubungan-hubungan baru antara ruang eksternal dengan ruang internal kita lewat lukisan-lukisannya. Sebuah kota tentang bagaimana waktu hadir kembali dalam sikap minimalis hitam-putih yang tak terbatas, dalam waktu biru, dalam bidang-bidang yang membuat kita harus berhenti di sebuah tempat, dan melihat kembali struktur kehidupan kita ikut bergerak seperti waktu, ikut berubah, dan ikut menjadi kenangan kita juga.

 

 

Malang, 23 Juli 1999
afrizal malna

September 6, 2015 / Hanafi, Ulasan
Like this post!

Related Posts

Read More
Dokumentasi Persiapan Ciputra Artpreneur
Read More
Katalog Pameran “MAL” – Farhan Siki
Read More
Indonesian Abstract Artist HANAFI Comes to the U.S.
[Press Release] Peluncuran Kitab Puisi dan Diskusi “Pengembaraan Badrul Mustafa”
[berita] kolaborasi jadi pijakan utama- pikiran rakyat
Read More
Surat buat H

Comments

No comment yet.

Cancel reply
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Next Post
  • Previous Post

Kategori

  • Aktifitas Galeri (64)
    • Aktifitas Galeri (41)
  • Artikel Galeri (28)
  • Artspace (44)
  • Catatan Pameran (50)
  • Galerikertas (70)
  • Hanafi (112)
  • Katalog Galerikertas (16)
  • Kolaborasi Tubaba (38)
  • Kolaborasi Vida (3)
  • Perpustakaan (16)
  • Ulasan (183)
  • Uncategorized (9)

Archives

Artikel Terbaru

  • kilas balik 2020 studiohanafi galerikertas January 30, 2021
  • Katalog Pameran “QYVProspectrum” November 25, 2020
  • Katalog Pameran Irawan Karseno “Melukis dari dalam Kereta” November 20, 2020
  • Katalog Pameran Isolasi 5 Perupa November 20, 2020
  • [Berita] Arena Isolasi 5 Perupa Muda-JawaPos.com November 19, 2020
  • [Berita] galerikertas Gelar Pameran Perupa Pilihan Irawan Karseno-detikHot November 19, 2020
  • [Berita] Jangan Sampai Kelewatan, Galeri Kertas Gelar Pameran Baru Bertajuk “Isolasi 5 Perupa”-getlost.id November 19, 2020
Load More...Follow on Instagram
Copyright © studiohanafi 2021