Surat buat H
H yang baik,
Belakangan kita memang jarang bertemu; tidak seperti dulu ketika aku sering bertandang malam-malam dan menginap di rumahmu, atau lebih lampau lagi ketika dulu kita tinggal bersebelahan di sebuah kompleks perumahan yang ramah dan sederhana. Tentu, sesekali aku meneleponmu, atau kau meneleponku. Biasanya setelah bicara di telepon itu aku, entah kenapa, akan tergerak untuk mengunjungi rumahmu yang kini jauh di tepian luar selatan Jakarta, melihat lukisan-lukisan terbaru di studiomu, bercakap-cakap denganmu, dengan D istrimu, K anak tunggal kalian, teman-teman atau sanak saudaramu yang tengah berada disana. Sekali waktu kita nonton bersama (atau aku menonton sendirian lewat tengah malam ketika kalian semua sudah tidur) sejumlah dvd yang kubawa-aku tahu, kalian menikmati film-film yang tak mudah dijumpai di bioskop-bioskop yang lumrah disini. Di pagi hari, setelah kau dan D membantu K bersiap berangkat sekolah, biasanya kita akan ngobrol lagi di meja makan bundar itu, berlama-lama, tentang apa saja, bersama teh hangat dan kudapan yang tersedia. Rasanya aku sering abai waktu bila berada di rumahmu.
Namun, berdiri di hadapan sebuah lukisanmu yang besar dan lengang, dengan bidang putih kosong yang luas dan sejumlah goresan atau tutulan gelap serta sapuan menyala dibagian bawah-merah, hitam, abu-abu, biru, kuning, oker-pada suatu sore yang basah, yang sempat menahanku pergi ke sebuah pertemuan, aku tiba-tiba berpikir tentang wajah yang sukar diraba itu: waktu. Rasanya kita pernah bicara tentang hal ini. Tentang segala yang datang dan pergi dan tak kembali. Tentang segala yang menua, memudar dan menyirna. Tentang yang tumbuh dan yang luruh. Tentang yang bertahan dan yang terlupakan. Tentang yang bergerak dan yang diam, atau seakan-akan diam. Tentang yang sebentar dan sementara. Kau tak melukis hal-hal yang kekal; kau berjalan dan menatap berbagai tempat dan kejadian yang fana, mencerap itu semua dengan caramu sendiri, yang tak selalu bisa kupahami, dan mencurahkannya kembali dengan tenaga yang seakan bisa kau bangkitkan cukup dari mendengar suara orang-orang terdekatmu di pagi hari, dari hari ke hari.
Acapkali lukisan-lukisanmu membuatku merasa bukan hanya terdampar di ruang-ruang imajiner yang tak terduga, setengah-akrab setengah-asing, tetapi juga mengusik ingatan-ingatan yang jauh dan lama tenggelam: titik-titik buih dan gelembung pengalaman di arus samudera waktu. Seakan segenap rupa, atau setengah rupa, yang muncul di kanvasmu adalah jejak-jejak kejadian yang menegaskan kembali proses tua ini: betapa ruang terus bergerak dalam waktu sementara waktu pun hanya menyosok dalam ruang. Keduanya berkelindan, bahkan bersenyawa, menghamparkan dunia yang menampung kita dan tertampung dalam ingatan kita, meski tidak untuk selamanya.
Kau pernah bicara tentang lukisanmu sebagai perwujudan “cara melihat, bukan cara melukis”. Kau tak tertarik lagi pada tetek bengek yang teknis, dan ingin berbagi dengan menyingkap sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi: jalan-jalan kecil yang kau lewati, wajah-wajah yang melintasi mimpi, kata-kata yang menari sendiri diantara asap rokok dan uap kopi… Apa yang kau lihat, kau cerap, disana? Aku bayangkan kau menyaring semua itu dan menumpahkan bagian-bagian yang paling keras membekas di dalam dirimu ke bentangan putih kanvasmu. Tetapi apa yang kau lihat, kau cerap, pastilah apa yang menarik perhatianmu, yang sangat mungkin berbeda dengan apa yang mencuri perhatianku, misalnya. Dan ketika kemudian kau menyatakannya dalam serangkaian ekspresi yang begitu pribadi, tergelarlah serentang jarak dan kita pun bermain dengan sejumlah gap atau ruang kosong yang tercipta itu, membubuhkan bayangan makna atau mungkin juga mimpi kesana.
Ada suasana tenang namun sayu pada banyak lukisanmu; aku bisa terdiam lama disana. Tentulah ada pula kadang-kadang bersitan gelora atau gelisah yang seakan datang tiba-tiba, dalam warna-warna yang mencolok dan garang, di muka kanvasmu. Seliar dan sekeras apa pun kadang-kadang tarikan kuas atau guratan as rolmu, pada akhirnya yang lebih kerap kau hasilkan adalah sebangun harmoni yang cenderung genap jatuhnya dimata, atau di rasa. Jika pun ada yang ganjil, itulah keganjilan yang terkendali pada umumnya, bukan sejenis luapan kebalauan yang meradang menerjang ke segenap penjuru. Kadang aku mencoba membayangkan semacam kegilaan yang lebih nanar, meski hanya dalam beberapa kejap, pada lukisanmu.
Melihat karyamu dari waktu ke waktu, aku sering takjub mendapati perubahan-perubahan yang terjadi-meski tetap jelas “sidik jari” daya ciptamu yang tak terkilurkan dengan orang lain. Kau bisa dengan ringan berpindah dari yang abstrak kepada yang figurative dan sebaliknya, atau mengaduk-aduk keduanya, atau memainkan berbagai pengaruh serta megolah pengalaman lama maupun baru pada kanvasmu-atau bahan dan media apapun yang kau sentuh. Kau terus berjalan atau melompat kemanapun daya ciptamu memanggil: “bukan karya yang menjadikanku, tapi aku yang menjadikan karyaku.” Dan kau menolak terkungkung batas-batas apapun. Tetapi benarkah kita bisa sepenuhnya lepas dan bebas dari batas-batas itu? Barangkali kita hanya merentang, mengulur, menarik, ya, menarikan batas-batas itu. Bagiku bentuk-bentuk tak tertentu yang selalu hadir dalam lukisanmu adalah semacam sugesti, saranan, yang bergerak tanpa henti antara yang konkret dan yang abstrak, yang gelap dan yang terang, yang tetap dan yang berubah-ubah. Seperti puisi yang resah sekaligus asyik bermain diantara arti dan bunyi (juga sunyi), begitulah unsur-unsur dalam karyamu berkitar-kitar, sembari sesekali seakan bermimpi sebagai tanda atau bergeming sepenuhnya sebagai rupa, atau mungkin juga secerah pra-rupa.
Suatu malam belum lama ini kau bercerita tentang sebuah baskom besi yang telah menemanimu melukis selama bertahun-tahun. Baskom yang biasa berisi air, tampat kau mencelupkan kuas-kuas atau rolmu yang belepotan cat akrilik selepas melukis. Baskom yang telah belepotan warna-warna, coreng-moreng yang di sana-sini pun telah lebur atau luntur. Kau mencatat semacam kesabaran dan kesetian disitu. Tak hanya itu, si benda pun lambat laun menjelma sesuatu yang punya wajah sendiri, yang terbedakan dari yang lain, dan menjadi akrab denganmu. Sebentuk hubungan khusus yang niscaya terjalin dari serangkaian proses panjang pertemuan, persentuhan, pergelutan, juga sejumlah kegembiraan maupun kegagalan. Tentu kau tak sedang menjadikannya semacam fetish, benda yang mengandung “tuah” tertentu, katakanlah “tuah estetik”, yang merangsang atau membangkitkan tenaga penciptaan dalam dirimu. Kurasa kau hanya ingin menimbang dan mengenangkan sesuatu yang tampak sepele namun sungguh berharga dalam sebuah proses yang acap terabaikan, terlupakan, di tengah berbagai hal besar dan ramai yang kemudian mengitarinya.
Maka kau pun tergerak mengangkatnya ke dalam karya-karya terbarumu. Berkolaborasi dengan R, fotografer yang cemerlang dan amat tekun mencari ikon-ikon yang tegas menohok kerentanan sekaligus keangkuhan dunia kita hari ini. Dunia riuh-rendah yang kerap lupa, dan membikin lupa, bahwa masih tersisa sesuatu yang bernama setia, meski diam-diam dan tak menunjukkan diri. Dunia yang menuntut kemasan serba baru setiap waktu, tetapi sering abai bahwa pada akhirnya itu semua tak jarang hanyalah sejenis bujukan tanpa dasar. Ya, dunia hari ini yang sering menghadirkan gejala-gejala serba sepintas dan kian tak terbiasa mempertahankan apa-apa yang berharga pada dirinya. Maka, kulihat baskom lukismu itu menampung rupa-rupa yang biasa (baiklah, sesekali tak biasa) dalam hidup sehari-hari namun betapa tak terduga sebagai jukstaposisi: beras, tumpeng, cabai, bedil, kaus, kasur, kondom, jarum suntik, orok, otak hewan, mobil-mobilan, …
Aku tiba-tiba teringat suatu pagi, tiga tahun silam, ketika kita duduk di beranda sebuah rumah di satu negeri utara yang jauh. Musim gugur belum lagi usai. Kita baru menginap semalam setelah perjalanan panjang, 20-an jam, di udara. Hawa pagi dingin sekali. Jalan depan rumah sepi. Masih ada daun-daun berserakan, seingatku. Sesekali ada orang lewat, kadang diikuti anjing piaraan yang berlari-lari kecil. Kita baru menyeduh kopi dan membawanya ke teras depan, lalu menyulut rokok. Kita bicara dengan geraham yang goyah oleh dingin, sehingga suara kita pun sering gemetar seperti suara dua orang jompo yang sedang bertukar cinta. Kita mulai obrolan dari kenangan-kenangan kecil tentang beberapa teman lama, lalu entah bagaimana pembicaraan kita bergerak jauh hingga menyangkut persoalan seni yang mengangkat penderitaan manusia. Persoalannya adalah bahwa karya seni yang mengangkat tema penderitaan dan lain-lain kemuraman dunia manusia itu toh selalu bisa selalu menjadi komoditi. Sementara itu tidaklah jelas amat apakah menyaksikan penderitaan manusia dalam sebuah karya seni akan sungguh menggerakan orang untuk bersimpati serta melakukan sesuatu tentangnya. Mungkin saja, atau mungkin kita berharap demikian. Mengapa tidak. Tetapi pada gilirannya kita mesti melihat atau mengingat juga sekian kerumitan yang mengitarinya. Ah, entahlah. Sebuah pembicaraan yang sulit dan pelik untuk sebuah pagi cerah di musim gugur, dan akhirnya membuat kita terdiam lama sambil menyaksikan bayang-bayang deretan pohon maple itu berubah diam-diam, amat perlahan, oleh matahari yang berangsur meninggi.
Waktu itu kau diundang ke sebuah festival seni yang di selenggarakan di Toronto, Kanada. Kau mengusulkan namaku kepada panitia; kemudian datanglah surat undangan itu, disertai beberapa keterangan tentang rangkaian acara diskusi dan lokakarya disana. Tentu aku bergembira. Kau pun mengadakan beberapa pertunjukan kolaborasi bersama dua orang seniman dari sana, M si penari dan B si pemusik. Mungkin kau masih ingat suatu kali kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, aku tak ingat lagi tentang apa, dan tentau aku tak bisa berbuat apa-apa, tetapi akhirnya kalian berhasil mempersembahkan sebuah nomor bersama yang mendapat sambutan hangat dari khalayak. Adapun pada suatu sore, mejawab pertanyaan seorang jurnalis di tengah sebuah pesta kebun, kau berkata bahwa sebuah kolaborasi pada dasarnya adalah sebentuk percobaan menangani “kegagalan yang mengasyikan”. Aku sempat mengira, kau tengah mengeluh waktu itu. Tapi tidak, ternyata. Dalam pembicaraan kemudian aku jadi tahu kau sekedar menyatakan semacam sikap riang yang siap menghadapi perbedaan-perbedaan dan segenap kemungkinan yang bisa timbul dari sana-sebagaimana layaknya dalam dunia hidup keseharian.
Bukan satu-dua kali, saat kita duduk-duduk di sekitar meja makan, bersama D dan beberapa teman, aku tiba-tiba tersadar bahwa kau sudah tak berada di tempat dudukmu semula. Kau selalu punya cara yang halus untuk menyelinap keluar di tengah kumpulan. Aku tahu, kau pasti sudah berada di studio, di depan kanvasmu, bekerja, bermain, berasyik-masyuk dengan warna-warna, sapuan-sapuan, gelontoran-gelontoran, goresan-goresan, dan rupa-rupa yang sering timbul-tenggelam pada kanvasmu. Sementara itu, kau pun seorang yang bisa bersikap santai dalam melahirkan karya. Kadang kau tetap bercakap-cakap sambil memainkan alat-alat lukis di tanganmu. Ada kalanya kau malah berhenti dan menyambut tamu yang datang, sementara mereka jadi agak kikuk karena merasa telah menginterupsi kerja cipta seorang seniman. Masih kuingat suatu siang di studiomu salah seorang tamu asing bertanya, dengan sedikit canggung, apakah kau sedang bekerja. Kau, di dekat kanvas yang baru setengah tergarap dan tangan agak berwarna-warni, cuma tersenyum dan bilang, “tidak,” lalu mengantar mereka turun masuk ke rumahmu. Aku terkesima: kau seakan berpaling dari bayangan “keabadian” sebuah karya pada kesementaraan hidup berwujud manusia. Aku seperti menyaksikan sekelebat kilat yang ajaib dari sudut ruangan itu.
Baiklah, kututup dulu surat ini disini. Semoga kau dan keluargamu dalam keadaan baik dan sehat. Maafkan bila suratku tak teramat rapi, bertabur lanturan di sana-sini. Mungkin kita bertemu saja lagi dalam waktu dekat. Mungkin di acara pembukaan pameran karya-karya terbarumu itu.
Salam,
H
Jakarta, 17 Juli 2004
hasif amini
Hasif Amini lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 1970. ia menulis esai dan menerjemahkan karya fiksi dan puisi. Saat ini bekerja sebagai redaktur jurnal kebudayaan Kalam dan mengasuh rubrik puisi lembar budaya “bentara” di harian Kompas.
Comments
No comment yet.