Street Art, Karya Seni atau Vandal?
MARAKNYA gambar realis atau mural di beberapa dinding sudut kota besar kembali memantik polemik. Sebagian masyarakat menilai mural tersebut merupakan karya seni. Selain gambar menawan, acap pula berisi pesan hingga kritik sosial. Bahkan di beberapa tempat, mural telah menjadi ikon kota.
Meski beroleh apresiasi, mural bagi sebagian masyarakat lainnya justru mendapat stigma negatif. Coretan dan gambar dinding tersebut dianggap merusak keindahan dan kebersihan kota. Mereka sering mencap mural sebagai perbuatan vandal.
Farhan Siki, street artist, mengatakan betapa pentingnya mengedukasi esensi karya seni kepada masyarakat guna mengubah stigma buruk terhadap karya seni. Sebagian masyarakat, tutur Farhan, masih menganggap sebuah karya seni, terutama street artsebagai bentuk vandalis.
“Sebelum menilai lebih jauh, ketahui terlebih dulu arti seni dan vandal. Dari definisi saja sudah berbeda. Seni itu apa, sedangkan vandal itu apa?” kata Farhan kepada merahputih.com saat menggelar pertunjukan karya seni di Studio Hanafi, Parung Bingung, Depok, Senin (28/5).
Menurut Farhan, seni itu tidak bisa terlepas dari keindahan, sementara vandal sifatnya merusak seni. Ia juga menegaskan, sebuah karya seni itu terkonsep dan mempunyai pesan. “Ada yang disuarakan seperti sosial-politik atau isu lingkungan. Sedangkan vandal itu tidak. Hanya asal. Tidak ada nilai dan pesannya,” tandasnya.
Sejarah Vandal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), vandal memiliki definisi sebagai perusak hasil karya seni dan barang berharga lain (lukisan, patung, naskah). Namun, di balik arti tersebut ternyata istilah vandal merujuk kepada sikap bangsa Vandal. Siapakah mereka?
Vandal merupakan nama suku asal Gerimanic timur. Mereka terkenal sangar dan barbar, terbukti ketika menjarah kota Roma pada tahun 455, merusak kota, menguras banyak harta berharga, termasuk kekayaan dari kuil Jerusalem yang dibawa Titus ke Roma.
Pada abad ke-17, baik Goth dan Vandal dianggap suku-suku barbar, bahkan berperan menghancurkan kejayaan kekaisaran Romawi.
John Dryden pada To Sir Godfrey Kneller, 1694, menulis, “Serupa Goth dan Vandal, ras utara paling kasar, merusak segala monumen seni bernilai tinggi”.
Sementara itu, istilah ‘vandalisme’ pertama kali digaungkan pada 1794 oleh Uskup Gereja Katolik Perancis Henri Jean-Baptiste Gregoire, untuk menyebut perusakan karya seni pada waktu Revolusi Perancis. Istilah vandal merujuk pada tindakan perusakan kaum Vandal pada masa Romawi. Kata tersebut akhirnya dikenal di seluruh dunia.
“Vandal memiliki sifat perusak. Berbanding terbalik dengan karya seni. Bahkan secara historis vandal berkaitan dengan karya seni itu sendiri, ya merusak tadi,” kata Farhan. “Kalau seni itu terkonsep dan mempunyai pesan. Ada yang disuarakan, sosial-politik atau isu lingkungan”. (*)
Comments
No comment yet.