studiohanafi.com studiohanafi.com studiohanafi.com
Navigation
  • PROFIL
    • Profil Hanafi
    • Manajemen
    • Kontak
  • GALERIKERTAS
    • Aktivitas Galerikertas
    • Catatan Pameran
    • Artikel Galerikertas
    • Katalog Galerikertas
  • RUANG
    • Artspace
    • Perpustakaan
  • AKTIVITAS
    • Aktivitas Hanafi
      • Tubaba
    • Aktivitas Artspace
    • Aktivitas Perpustakaan
  • KOLABORASI
    • Tubaba
    • Vida Festival 2018
  • ULASAN

Saat Usia Lima Puluh

Share!

0shares

dari penggal tengah sebuah novel


pengantar dari komaneka

 

Pagi itu Hanafi dan saya berjalan bersisian sepanjang trotoar yang lengang di Jalan Malioboro. Sinar matahari pagi terasa hangat menerpa kulit. Aroma Jogja yang pernah saya hirup selama bertahun-tahun mengambang di udara. Karena aroma ini kita teringat pada Jogja, kata Hanafi.

Kami melangkah perlahan sepanjang jalur batu trotoar yang sudah rompel disana sini. Sesekali seorang tukang becak akan menyapa Hanafi dengan panggilan “Oom”, menawarkan jasa untuk mengantar kami mengunjungi tempat pembuatan bakpia atau batik, ke Taman Sari atau berkeliling dengan tarif tertentu. Semua dijawab tidak oleh Hanafi dalam bahasa Jawa pasaran. Sebuah cara sederhana untuk memintasi jarak, karena bahasa Jawa halus hanya digunakan bagi orang-orang yang dengan mereka kita merasa canggung.

Percakapan kami lambat dan melompat-lompat seperti katak yang menghadapi puluhan daun teratai di tengah kolam, lalu berhati-hati memilih jalannya ke tepian. Di sekitar kami Malioboro mulai bangun. Lapak-lapak di emperan toko terbuka selubungnya satu demi satu, lalu tumpukan sendal, untaian kalung, puluhan kaus bernama sama, berpindah dari tempatnya disimpan ke atas meja yang dialasi seadanya. Seorang perempuan meringkuk di pojokan etalase, sembunyi-sembunyi menyantap sarapan. Laki-laki berambut gondrong mengakhiri malamnya di atas kursi taman di bawah pohon dengan mata merah dan wajah berminyak. Gerobak bermuatan nasi kuning, nasi gudeg dan pecel Madiun mulai didatangi pengunjung. Kami berdua terus melangkah.

Hanafi mengibaratkan kerja yang kami mulai untuk proyek pameran yang katalognya sedang Anda baca ini sebagai membaca sebuah novel dari tengah. Bukan karena tidak menghargai cara pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tetapi karena karakter tokoh-tokoh dalam novel itu menyembul dari orang-orang disekitar kita, yang kita temui setiap hari. Seperti cara Hanafi menyapa saya. Kadang dari dinding tinggi diatas tangga, kadang dari sudut diatas sofa. Mendadak saya tahu ia sedang berada di rumah Salvador Dali, atau menunggu mie goreng yang dipesannya selesai dimasak. Ia bisa muncul dari setiap sudut dalam ruang antara dua jarum jam yang saling berkejaran pada hari-hari saya.

Enam tahun yang lalu, saya bertemu dengan Hanafi untuk pertama kalinya pada hari persiapan pameran yang sibuk dan hiru-pikuk di sebuah galeri di Jakarta. Ia berdiri di pojok ruangan, memakai kemeja lengan panjang berwarna gelap yang digulung sampai ke siku dan jins biru yang warnanya mulai pudar, rambut panjangnya diikat ke belakang membentuk gulungan, secara fisik, ia tampak kecil dibandingkan karya-karyanya. Tapi semakin dekat saya dengannya, semakin saya menyadari bahwa aura yang memancar darinya memenuhi ruangan itu. Hanafi yang ada di sana terlihat seperti batu yang keras dan mengilap, menyimpan tenaga yang besar. Cukup besar untuk mengisi bidang-bidang dalam kanvasnya yang lapang.

2

Sore itu, adalah awal dari percakapan saya yang panjang dengannya. Ia bercerita mengenai hari ketika ia memutuskan pergi ke Jakarta, mengadu nasib di belantara ibu kota yang menurut sebuah film komedi satir lebih kejam daripada ibu tiri manapun. Tentang hari ketika teman sekolahnya datang dari Yogyakarta untuk menjemputnya, bicara dengannya di dapur sebuah restoran saat ia sedang menyemprot panci kotor dengan air panas, mengajaknya kembali untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Hanafi bersikeras menolak. Keteguhan yang sama yang saya lihat memancar dari dalam dirinya saat itu. Ketika ia telah menaklukkan Jakarta. Lalu mundur dan mengamati kota yang padat-semrawut itu dari tanah di pinggir sungai, tempat rumahnya didirikan.

Kadang-kadang saya heran pada percakapan-percakapan kami. Bagaimana saya dan Hanafi selalu bisa menemukan topik untuk dibicarakan. Atau bagaimana percakapan itu terjadi pada saat yang tepat. Apakah orang-orang yang pernah saling bicara dari hati ke hati bisa menjadi cenayang untuk yang lain?

Pada suatu hari yang buruk saya pulang dalam keadaan penat, jiwa dan raga. Terlalu lelah dan sendirian untuk bisa melepaskan beban perasaan. Esok paginya, seperti telah diprogramkan secara ajaib, pesan pertama yang saya terima bicara tentang koran pagi yang hari itu tidak datang dan keinginannya agar koran itu tidak digantikan oleh murung. Pesan itu dari Hanafi.

***

Sinar matahari sudah mulai membakar kulit. Kami menjauhi riuh rendah Malioboro dan menuju ruang pamerannya. Hanafi nyaris selalu bekerja secara eksklusif untuk sebuah ruang pamer. Ia memperlakukan pamerannya sebagai sebuah instalasi yang merespon sebuah ruang, sehingga berkarya tidak hanya mengenai melukis. Melainkan juga menciptakan ruang dan suasana terhadap lukisan tersebut. Hanafi akan mengunjungi sebuah ruang pameran sebelum ia berkarya. Mengamati, menghitung dan membuat sket ruangan sebagai awalannya untuk bekerja. Ketika lukisannya selesai dan waktunya tiba untuk memajang karya, ia sudah tahu pada dinding yang mana karya tertentu akan digantung, atau sarang yang bagaimana yang harus disediakan bagi karya-karyanya. Hal ini tak jarang membuat Hanafi melakukan perubahan yang mencolok terhadap keseluruhan ruang tempatnya berpameran.

Seperti yang terjadi dalam pameran UR (you’re) – Urban Room Project, pameran Hanafi yang pertama kali saya tangani di Komaneka Fine Art Gallery. Ia datang membawa bergulung-gulung seng gelombang, bahan yang paling umum dijadikan atap pada bagian kota yang kumuh dan miskin di mana orang-orangnya tidak mampu membeli genting. Hampir seluruh dinding galeri dilapisinya dengan seng itu sehingga banyak pengunjung galeri menyangka Komaneka sedang direnovasi (tapi tetap ngotot mengadakan pameran) atau menduga galeri ini memang bergaya industrial. Selama empat minggu ruang galeri memanas beberapa derajat, mengimbangi suasana dalam bedeng-bedeng sempit di bantaran kali kota besar.

Di Jakarta, kaum miskin kota tinggal di pinggir kali, dikelilingi aroma sampah busuk, kumpulan lalat yang mendengung, basah dan lembab saat hujan, sembari harap-harap cemas terkena sapuan banjir. Di Ubud, tanah yang terletak di pinggir sungai luar biasa mahalnya. Menjadi tempat tinggal yang dramatis bagi ekspatriat, atau lokasi pembangunan resor mewah dengan pemandangan spektakuler. Kontras itu disampaikan Hanafi melalui seng gelombang.

 

ho

 

Pada hubungan antara seniman dan galeri yang tercipta atas dasar kepentingan bisnis semata, posisi galeri yang mewakili kepentingan kapital tidak jarang menjadi steril dan berjarak dari isu-isu sosial yang kerapkali disuarakan seniman. Pameran Hanafi itu menampilkan ekspresi terbuka yang tidak dikekang oleh kepentingan untuk tetap apik dan resik, untuk melulu jadi bagian kelas atas. Juga menyingkap bentuk relasi lain antara seniman dan galeri, yang dibangun atas dasar saling menghormati, kesungguhan dalam bekerja dan berkarya, serta keinginan untuk mendokumentasikan kekayaan seni rupa Indonesia. Kebebasan berekspresi kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hubungan tersebut.

Saya menduga, hal ini terkait dengan bagaimana segalanya bermula.

Koman Wahyu Suteja dilahirkan sebagai generasi kedua sebuah keluarga yang berdedikasi dalam mengapresiasi dan melestarikan kekayaan seni rupa Indonesia. Ketika mendirikan Komaneka –empat belas tahun yang lalu, ia berkeinginan merekam perjalanan generasinya dan generasi yang akan datang dalam seni rupa Indonesia. Ia percaya masa itu ada ditangan para seniman yang (saat itu) masih belajar dan baru memulai karirnya.

Ia pergi ke sekolah seni dan bertemu para seniman muda di Yogyakarta dan Bali. Ia bicara dan berdiskusi dengan mereka, melihat karya yang mereka kerjakan dari waktu ke waktu, mengamati perkembangan mereka dengan intensitas murid Sekolah Dasar yang untuk pertama kalinya tahu bahwa segenggam biji kacang hijau yang direndam dalam air akan berkecambah dalam waktu 2×24 jam. Perjalanan dan pengamatan ini berlangsung selama berminggu minggu. Mempertemukannya dengan sejumlah seniman yang pada akhirnya tumbuh dan mendapatkan apresiasi yang luas dari publik seiring dengan pertumbuhan Komaneka Fine Art Gallery. Hanafi adalah salah satu dari seniman-seniman itu.

Mereka saling diperkenalkan oleh seseorang yang pernah tinggal berpindah-pindah antara Bali, Jakarta, Singapura dan Cina. Pengelana masa kini yang menemukan Hanafi di Jakarta, menceritakannya pada Koman di Ubud, lalu jadi perantara dalam simpul pertama jalinan hubungan antara keduanya dan terjadi tiga belas tahun yang lalu. Orang itu kini telah berganti nama, kata Hanafi.

 

web

 

Hubungan antara galeri dan seniman dapat diibaratkan sebagai pinggan gelas borosilikat, yang cukup kuat untuk menahan panas ratusan derajat dalam oven microwave, namun mudah hancur berkeping jika mengalami benturan. Ini adalah hubungan yang sarat berbagai kepentingan yang dapat dipolitisir dengan mudah, namun dapat pula dijalani dengan ringan, setipis asap yang mengepul dari semangkuk sup bawang. Galeri dan seniman berada dalam bentangan kawat baja sebuah pertunjukan trapeze. Segera setelah hubungan itu dimulai, mereka begitu saling membutuhkan sehingga saling tidak pernah merasa cukup akan satu sama lain.

Dalam jalinan hubungan yang demikian, Hanafi menceritakan panggilan telepon yang ia terima dari Koman beberapa tahun yang lalu, saat keluarga Hanafi sedang merencanakan sebuah perjalanan penting dan harus memilih anggota keluarga yang akan berangkat, karena keterbatasan dana. Panggilan telepon itu mengabarkan kalau ada sejumlah dana milik Hanafi yang bisa diambil kapanpun. Seperti telepati, jumlahnya cukup untuk memastikan semua anggota keluarga yang ingin berangkat mendapatkan keinginannya. Begitu banyak film yang bercerita tentang bagaimana orang-orang yang berhubungan pada tegangan kawat yang sama, seringkali seolah senantiasa terkait dengan cara yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah. Saya yakin cerita semacam itu diambil dari kisah nyata. Cerita itu adalah cerita pertama yang saya dengar dari Hanafi tentang Koman Suteja.

Manusia terlahir sendiri dan kembali dalam kesendirian. Dalam jarak antara saat terlahir dan saat kembali itu, kita bertemu dengan begitu banyak hal, serupa benang-benang halus, terjalin dalam sebuah pola besar yang rumit dan tidak selalu dapat kita pahami sepenuhnya. Maka, kata Kafka, setiap hari yang kita lakukan adalah berusaha membuat hidup kita menjadi lebih sederhana. Termasuk di dalamnya berhubungan dengan orang lain. Kata Hanafi, itu sebabnya ia dan Koman selalu membawa bingkai foto keluarga ke manapun mereka pergi.

***

131. Kesendirian asing, 200X215 cm, Acrylic On Canvas, 2010

Senja menjelang dan Malioboro tak berkurang kepadatannya. Aroma terik matahari yang bercampur dengan bau keringat melekat pada pakaian yang setiap serat kainnya dihinggapi debu jalanan. Wajah-wayah kusut siang hari berganti dengan pipi gadis belia yang merona merah muda, dengan pakaian yang baru dicuci dan wangi deodoran, malu-malu menggandeng tangan kekasih yang membawanya berjalan-jalan menikmati udara sore. Deru motor bersahutan dengan jerit klakson yang dibunyikan dengan berbagai alasan. Gerobak bakso dan mie ayam bertutup terpal biru mengisi tempat-tempat kosong seperti jamur menyembul di sela-sela pepohonan. Kursi-kursi beton di dua sisi jalan dihuni gerombolan anak muda yang saling bercerita, pasangan yang saling menatap seraya tersipu, pengamen jalan yang sedang menyetel gitarnya. Tawa mengambang di udara.

Dan jika cerita ini datang dari halaman tengah sebuah novel, itu adalah kisah sepanjang enam dan tiga belas tahun, bagian dari usianya yang kini genap lima puluh.

 

Ubud, 15 Maret 2010
dian ina

 

download:
katalog saat usia 50

galeri: 
saat usia lima puluh

 

September 1, 2015 / Hanafi, Ulasan / Tags: gallery, photo
Like this post!

Related Posts

Read More
id (GalNas)
Read More
Bahasa Sedang Melakukan Operasi Terhadap Bahasa
Read More
Orang Negeri Seberang
Read More
id (Jogja Gallery)
Read More
Pembocoran Ruang di Bawah Meja
Read More
Mulut-Mulut Hujan Dari Sebuah Pergaulan Dunia Rupa (Kamu Baik, Han?)

Comments

No comment yet.

Cancel reply
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Next Post
  • Previous Post

Kategori

  • Aktifitas Galeri (64)
    • Aktifitas Galeri (41)
  • Artikel Galeri (28)
  • Artspace (44)
  • Catatan Pameran (50)
  • Galerikertas (70)
  • Hanafi (112)
  • Katalog Galerikertas (16)
  • Kolaborasi Tubaba (38)
  • Kolaborasi Vida (3)
  • Perpustakaan (16)
  • Ulasan (183)
  • Uncategorized (9)

Archives

Artikel Terbaru

  • kilas balik 2020 studiohanafi galerikertas January 30, 2021
  • Katalog Pameran “QYVProspectrum” November 25, 2020
  • Katalog Pameran Irawan Karseno “Melukis dari dalam Kereta” November 20, 2020
  • Katalog Pameran Isolasi 5 Perupa November 20, 2020
  • [Berita] Arena Isolasi 5 Perupa Muda-JawaPos.com November 19, 2020
  • [Berita] galerikertas Gelar Pameran Perupa Pilihan Irawan Karseno-detikHot November 19, 2020
  • [Berita] Jangan Sampai Kelewatan, Galeri Kertas Gelar Pameran Baru Bertajuk “Isolasi 5 Perupa”-getlost.id November 19, 2020
Load More...Follow on Instagram
Copyright © studiohanafi 2021