Pintu Belakang | Derau Jawa
Pemetaan narasi pameran Hanafi
Oleh Afrizal Malna
Dunia lain dibuka melalui “pintu belakang”. Ruang ini tidak ada hubungannya dengan “pintu depan” yang menuju ke luar, ke dunia yang teritorinya tidak berbatas. Pintu belakang teritorinya sangat terbatas, hanya menghubungkan bagian belakang rumah dengan halaman belakang rumah.Biasanya berhubungan dengan kegiatan dapur dan aktifitas kegiatan rumah tangga lainnya. Tetapi fungsi simbolisnya tidak terbatas. Struktur ruang ini, terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait erat dengan istilah “jalan belakang” untuk berbagai hubungan informal tanpa publik. Memiliki ruang gerak sosial dalam lingkup kecil antar tetangga maupun kerabat. Tetapi juga memiliki fungsi politik tidak terduga untuk mencairkan peran negara, atau sebagai ruang dimana negara tidak ikut hadir (silakan lihat: nomor rumah ada di pintu depan).
Seorang antropolog, Jan Newberry, yang pernah melakukan penelitian mengenai pintu belakang dalam konsep rumah Jawa di Kampung Putri di Yogyakarta, menyebut begitu pentingnya peran pintu belakang. Sebuah rumah tanpa pintu belakang sama dengan memutus hubungan antara keluarga dengan kampung. Ruang untuk aliran udara, aliran arus orang dan arus barang (Jan Newberry, Back Door Java, Negara, Rumah Tangga dan Kampung di Keluarga Jawa, 2013, hal. 15).
Senirupa — sebagaimana Hanafi memahami dunia modern – merupakan sebuah disiplin yang digaulinya dimana pusat representasinya bergerak melulu dalam ruang “pintu depan”. Arus progresif ini tidak sepenuhnya terhayati sebagai struktur emosi dalam ruang keseharian Hanafi. Terutama untuk arus yang menetap dan kemudian beralih ke belakang. Dua kali Hanafi membuat pameran dengan tema “dunia di bawah kolong meja” untuk mengungkap sebuah dimensi ruang dalam memori sosialnya.Memori sosial ini berakar jauh dalam ruang yang lebih arkhaik di sekitar peran sosial maupun peran simbolik pintu belakang dalam konsep ruang Jawa. Ruang eksis tanpa instrumen-instrumen formal.
Senirupa — sebagaimana Hanafi memahami dunia modern – merupakan sebuah disiplin yang digaulinya dimana pusat representasinya bergerak melulu dalam ruang “pintu depan”. Arus progresif ini tidak sepenuhnya terhayati sebagai struktur emosi dalam ruang keseharian Hanafi. Terutama untuk arus yang menetap dan kemudian beralih ke belakang. Dua kali Hanafi membuat pameran dengan tema “dunia di bawah kolong meja” untuk mengungkap sebuah dimensi ruang dalam memori sosialnya.Memori sosial ini berakar jauh dalam ruang yang lebih arkhaik di sekitar peran sosial maupun peran simbolik pintu belakang dalam konsep ruang Jawa. Ruang eksis tanpa instrumen-instrumen formal.
Senirupa — sebagaimana Hanafi memahami dunia modern – merupakan sebuah disiplin yang digaulinya dimana pusat representasinya bergerak melulu dalam ruang “pintu depan”. Arus progresif ini tidak sepenuhnya terhayati sebagai struktur emosi dalam ruang keseharian Hanafi. Terutama untuk arus yang menetap dan kemudian beralih ke belakang. Dua kali Hanafi membuat pameran dengan tema “dunia di bawah kolong meja” untuk mengungkap sebuah dimensi ruang dalam memori sosialnya.Memori sosial ini berakar jauh dalam ruang yang lebih arkhaik di sekitar peran sosial maupun peran simbolik pintu belakang dalam konsep ruang Jawa. Ruang eksis tanpa instrumen-instrumen formal.
Senirupa — sebagaimana Hanafi memahami dunia modern – merupakan sebuah disiplin yang digaulinya dimana pusat representasinya bergerak melulu dalam ruang “pintu depan”. Arus progresif ini tidak sepenuhnya terhayati sebagai struktur emosi dalam ruang keseharian Hanafi. Terutama untuk arus yang menetap dan kemudian beralih ke belakang. Dua kali Hanafi membuat pameran dengan tema “dunia di bawah kolong meja” untuk mengungkap sebuah dimensi ruang dalam memori sosialnya.Memori sosial ini berakar jauh dalam ruang yang lebih arkhaik di sekitar peran sosial maupun peran simbolik pintu belakang dalam konsep ruang Jawa. Ruang eksis tanpa instrumen-instrumen formal.
Sebuah pintu depan yang telah berlalu dibuka: Tahun 1929 berlangsung pameran senirupa Jerman untuk pertama kalinya di Batavia. Memamerkan karya-karya Otto Dix, Karl Hofer, Wassily Kandinsky, Fritz Mackensen, Laslo Moholy-Nagy, Max Pechstein, Max Slevogt, Karl Schmitt-Rotluff, Heinrich Vogler, Georg Kolbe, Emil Nolde, Josef Bato, Charlotte Behrend-Corinth, Maria Caspar-Filser, Philipp Frank, Emmy Gotzmann, Ernst Honigberger, Willy Jackel, Wilhelm Kohlhoff, Calro Mense, Oskar Moll dan Eugen Spiro. Informasi tentang peristiwa penting ini saya dapatkan ketika mengikuti diskusi Werner Kraus dari Centre for Southeast Asian Art(Passau), di Herrenhaus des Gutes Wahlstorf bei Ploun, Jerman, 23 Agustus 2015. Diskusi dilakukan dengan menayangkan katalog pameran, lengkap dengan ukuran maupun harga lukisan.
Saya tidak punya bayangan dampak pameran maupun liputan dari peristiwa di atas dalam lingkungan kolonial di Batavia maupun Hindia Belanda yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama kemudian krisis ekonomi yang melanda dunia pada masa itu.Menjelang tahun 1930, kawasan Hindia Belanda mulai mengatasi pengaruh depresi perekonomian ini dengan melakukan swastanisasi maupun liberalisasi perekonomian kolonial. Pertumbuhan ekonomi, salah satu di antaranya, bisa dilihat melalui tumbuhnya percetakan dan desain yang mengiklankan berbagai produk industri (Budi Setiyono, ed, Cakap Kecap 1972-2003, Yogyakarta, Galang Press, 2004). Yang menarik dari berbagai desain iklan yang ditawarkan, segmen Jawa (sebagai mayoritas dalam demografi Hindia Belanda), mendapatkan tubuh-identitas sebagai usaha melembagakan sekaligus mengilusikan bagaimana tubuh-Jawa memasuki kehidupan modern melalui produk-produk industrimodern yang dilempar ke pasar. Dari sensus pemerintah kolonial yang dilakukan tahun 1930, jumlah penduduk di Hindia Belanda sebesar 60.727.233 jiwa (termasuk keturunan Tionghoa, Eropa dan Timur Asing). Penduduk terbesar berada di Jawa (41.718.364 jiwa). Melalui iklan-iklan produk industri modern,Ilusi tubuh-Jawa mulai diintegrasikan antara pasta gigi, sabun mandi dan sabun cuci.
Di samping pasta gigi, sabun mandi dan sabun cuci, produk-produk lain berupa coklat (dengan penggambaran Gareng-Petruk), mentega atau rokok (dengan penggambaran perempuan berkebaya menghisap rokok dan mengangkat kembali narasi Roro Mendut), Bier Kris (keris pada botol bir), tembakau (tubuh-petani di sawah), beberapa iklan dalam bahasa Jawa, maupun penawaran penerbangan untuk pariwisata dengan penggambaran Candi Borobudur: Fly to Java by KNILM. Narasi lokal, mooi indie maupun mancanegara mulai membuat pergaulan modern dalam lingkungan kolonial sebagai ilusi baru tentang Jawa dalam realitas pasar. Semua ini berlangsung bersamaan dengan lembaga penerbitan Balai Pustaka yang kian banyak menerbitkan narasi di sekitar legenda-legenda Jawa, saling menyerapnya bahasa Melayu dan Jawa. Tubuh-Jawa yang ditawarkan melalui realitas pasar ini lengkap dengan penawaran peralatan pertanian.Konstruksi tubuh-Jawa ini putus pada masa pendudukan Jepang dan memasuki realitasnya yang paling ekstrim (1943-1945).
Ilusi tentang Jawa, menurut Bandung Mawardi, mendapatkan momentumnya saat pemerintah kolonial membentuk lembaga Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Universitas Leiden (Ironi dan Ilusi Jawa, Kompas, 22 Januari 2011). Jawa yang mulai didekonstruksi dan kemudian direkontruksi ulang melalui bahasanya, sastra, sejarah, arsitektur, gamelan maupun berbagai fragmentasi lainnya. Ini memunculkan ilusi tentang akar yang rumit dari kamajemukan Jawa sekaligus ilusi tak langsung tentang “satu Jawa” dalam dunia modern yang mulai ditata. Tanpa melupakan sisi Sunda yang membuat Jawa merupakan kawasan noise sejarah maupun kebudayaan dimana teritori ideologi antara Sunda dan Jawa tidak akan pernah ajek (terus saling bersinggungan). Bujangga Manik, misalnya, seorang resi pra-Islam dari Pakuan Pejajaran (Sunda), melakukan perjalanan spiritual mengelilingi Jawa dan Bali sebagai pola belajar maupun ngelakoni seperti dilakukan Amongrogo dari Giri (Jawa Timur) ke Karang (Jawa Barat) dalam Serat Centhini.
Ilusi tentang teritori identitas dalam demografi Jawa memasuki noise sejarahnya yang panjang melalui berbagai gelombang migrasi maupun diaspora keluar dan kedalam, atau politik kawin-silang yang dilakukan raja-raja Jawa, medan reproduksi di masa perbudakan maupun masa kolonial.Percampuran DNA yang berlangsung sama dengan pencampuran memori asal-usul. Berlangsung dalam kesadaran Jawa untuk menyimpan nilai-nilai Jawa ke dalam bahasa (Kromo) dan mengintegrasikannya ke gamelan, wayang, rumah, pakaian, makanan hingga keris dengan latar kawasan Nusantara yang selalu bersinggungan dengan titik-titik arus global dari masasilam sebagai kawasan geopolitik yang sudah terbentuk.
Pemerintah kolonial Belanda juga aktif melakukan program transmigrasi sebagai akibat langsung dari pengembangan industri perkebunan, pertambangan, transportasi kereta api maupun industri keamanan. Penyebaran penduduk Jawa kian meluas, terutama ke Sumatra, Kalimantan kemudian Papua. Tahun 1929, di bawah kontrak Cultuurstelsel, 235.000 penduduk Jawa melakukan transmigrasi ke pesisir Timur Sumatra. Konsep ruang pun mulai berubah dari istilah “migrasi” di era pra-kolonial, menjadi “transmigrasi” di era Hindia Belanda. Setelah Indonesia Merdeka, pemerintah Sukarno juga melakukan transmigrasi pada tahun 1949, dan memuncak pada pemerintahan Suharto yang hampir mencapai 2,5 juta jiwa (Goldman, Michael, Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization, 2006).
Hanafi membuka kembali dialog kawasan historis di sekitar dunia Jawa ini, setelah pameran sebelumnya (Oksigen Jawa) di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2015. Kali ini lebih untuk melihat — bagaimana Jawa sebagai sebuah “bungkusan identitas” — apakah masih merupakan faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Karena Jawa merupakan mayoritas dimana proses politik kebudayaan masih terus menggeliat hingga kini.Narasi pencarian kesejatian esoterik (Wayang, kisah-kisah Dewa Ruci, Centhini, Madang Kumala, Serat Kenda, Serat Cabolek,Dharmo Gandul, tafsir tentang mimpi maupun ramalan) yang jenuh terhadap nilai-nilai eksoterik. Narasi-narasi ini intinya lebih ingin membuka selubung kekuasaan representasi dari ruang-yang-disana, yang jauh dari habitatnya yang-disini. Faktor Jawa jadi sangat menentukan bergeraknya bandul warna identitas di Indonesia ke arah menjaga keberagaman atau penyeragaman.
Dari sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistiktahun 2010, jumlah pendudukIndonesia mencapai 237,641,326 jiwa. Dari jumlah ini, 63.293.685 jiwa terdapat di Jawa Barat (Jawa Barat, DKI. Jakarta dan Banten); 35.726.308 jiwa di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta;37.476.757 jiwa di Jawa Timur dan Madura. Artinya 136.610.590 penduduk Indonesia (setengah lebih) terbanyak di Jawa.Pemakai bahasa Jawa sehari-sehari 68.044.660 jiwa; pemakai bahasa Sunda, 32.412.752 Jiwa; dan pemakai bahasa Indonesia, 42.682.566 jiwa.Pemakai bahasa Jawa dan Sunda menjadi dua kali lipat lebih besar dari pemakai bahasa Indonesia.Kita tidak pernah tahu berapa banyak jumlah bahasa daerah di Indonesia. Ada angka yang tidak mudah membayangkannya, yaitu 746 bahasa daerah. Sementara yang terpetakan sejumlah 594 bahasa daerah; selebihnya kemungkinan dianggap punya, karena tidak ada pemakainya lagi (Bahasa Daerah Semakin Punah, Republika, 05 Maret 2014).
Masuknya faktor bahasa dalam sensus di atas, memperlihatkan batas identitas yang tidak lagi ditentukan oleh kawasan, melainkan melalui tubuh-bahasa-ibu yang menyebar luas ke kawasan lain di luar jawa. Sementara itu, juga ada fenomena nama anak-anak Jawa masakini yang kian menjadi nama Arab, Barat,budaya urban, maupun globalisasi bahasa Inggris. Dan ruang internet maupun ruang digital yang membawa realitas lain yang tidak terbayangkan dari 25 tahun lalu. Pemakai internet di Indonesia sudah mencapai 38.191.873, 15 % dari pemakai internet dunia (id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_pengguna_internet).
Apakah artinya memori di tengah angka-angka sensus di atas? Dimanakah posisi ketertarikan untuk mengenali asal-usul di tengah “akar majemuk”(Gilles Deleuze dan Fellix Guataris menyebutnya sebagai rhizome) kebudayaan yang telah saling menjalin satu sama lainnya? Yang menjadi fokus Hanafi dalam pertanyaan ini adalah apakah artinya waktu dalam sebuah karya seni? Dimanakah batas waktu ketika sebuah materi telah diubah menjadi medium seni? Apakah waktu yang terinspirasi dari masalalu harus tetap dibaca sebagai masalalu walau dibuat di masakini untuk sebuah pameran? Jawa dalam pameran ini tidak hanya memiliki moda waktu masalalu, tetapi juga moda waktu primitif dengan ditemukannya Homo erectus paleojavanicusdi desa Trinil yang disebut sebagai “Manusia Jawa”, lebih dari sejuta tahun lalu.Penemuan yang memunculkan ilusi tentang masalalu yang tak terbayangkan.
Hanafi menggunakan memori biografis untuk mengelola arsip-arsip yang terpisah dari tubuhnya maupun yang masih melekat pada tubuhnya di sekitar dunia Jawa. Untuk Hanafi, Jawa selalu hadir ketika dia hidup sebagai seorang Indonesia maupun sebagai seorang Muslim. Tetapi ketika dia mencoba menghayati kembali dirinya sebagai seorang Jawa, pintu belakang kembali hadir sebagai ruang yang menentukan untuk membatalkan berbagai konsfigurasi makna maupun arus formal yang ditentukan oleh otoritas pintu depan.
Dalam kehidupan sehari-hari, Hanafi cenderung membawa tubuhnya sebagai tubuh yang menetap, walau telah lama meninggalkan desanya di Purworejo. Lebih banyak menyerap daripada bergerak. Kecenderungan ini berhubungan langsung ketika Hanafi harus membawa tubuhnya melalui percakapan bahasa Indonesia sebagai “bahasa-bahasa-Indonesia”. Artinya, bahasa Indonesia bukanlah bahasa tunggal dalam perkembangannya: ada banyak dialek lokal yang ikut menentukan kemajemukan bahasa Indonesia.
Membawa faktor bahasa ke dalam dunia senirupa menjadi menarik dalam konteks Indonesia yang sangat khas, karena masyarakatnya memiliki bahasa-ibu yang majemuk di tengah bahasa-nasional yang tunggal. Tetapi ketika Hanafi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa-ibu, tubuh yang menetap ini, cenderung berubah kembali menjadi tubuh-komunal dengan respon-respon spontan, unggah-ungguhJawa, lebih akrab dalam melakukan kontak relasional yang mungkin dilakukan. Padahal awal pertemuan Hanafi dengan bahasa Indonesia sama dengan awal pertemuannya dengan ruang baru yang dianggapnya terkesan lebih tegas dan setara dalam melakukan transaksi. Perubahan penggunaan bahasa (Indonesia atau Jawa), membuat tubuhnya seperti hidup dalam dua habitat ruang komunikasi yang saling menentukan bentuk relasional yang dilakukan dengan respon-responnya yang berbeda. Di sini identitas tidak bergerak tunggal, melainkan hidup dalam dua kamar habitat bahasa dengan kodefikasi sosialnya masing-masing.
Dua ruang dari tubuh-habitat yang sangat ditentukan oleh faktor bahasa ini, mendapatkan pengalaman representasi lain ketika Hanafi mulai belajar senirupa di Yogyakarta, bekerja sebagai tukang pelitur di Purworejo maupun sebagai pembuat kartu pos bergambar di trotoar Pasar Baru, Jakarta. Latar lingkungan Jawa yang mulai membaur dengan gejala awal dari dunia urban yang dialaminya di tengah kondisi ibunya yang terancam buta dan tetap bekerja sebagai tukang jahit maupun penyulam.
Membuka kembali dialog seperti di atas sama dengan membuka kembali Jawa sebagai sebuah wilayah noisedan rhizomesekaligus dalam pelbagai proses perubahan eksternal-internal yang terjadi pada Jawa dengan puncaknya pada peristiwa “Tragedi 1965” yang telah meninggalkan gelombang bisu panjang. Noise dimana Indonesia (sebagai wilayah post-kolonial) tidak hanya faktor utama yang mengubah Jawa, tetapi juga sebaliknya yang ikut mengubah Indonesia dengan kemajemukan sub-sub-kultur lain yang terdapat di dalamnya. Noise yang bisa dilihat sebagai jembatan waktu. Dalam hal ini Hanafi mencoba mengulik ulang konsep waktu Jawa sebagai “waktu bawang”, di mana waktu tumbuh dari dalam. Bergerak melalui pinggiran:menempatkan waktu sebagai gerak melingkar dari dalam hingga ke kulit luar(Denys Lombard: Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Jilid 3, 2005). Konsep narasi waktu Jawa ini diparalelkan dengankonsep empat arah mata angindalam ruang Jawa yang tidak hanya berlaku dalam ruang makrokosmis, melainkan juga konsep empat arah mata angin dalam tubuh (Dr. S. Soebardi, Serat Cabolek, Kuasa, Agama, Pembebasan, Nuansa Cendikia, Bandung, 2004). Konsep waktu dan ruang dimana arus eksternalisasi dari kerja representasi selalu ditempatkan dalam hubungan mistis.***
link:
video dokumentasi
display karya
katalog PDF
liputan media 1
liputan media 2
Comments
No comment yet.