studiohanafi.com studiohanafi.com studiohanafi.com
Navigation
  • PROFIL
    • Profil Hanafi
    • Manajemen
    • Kontak
  • GALERIKERTAS
    • Aktivitas Galerikertas
    • Catatan Pameran
    • Artikel Galerikertas
    • Katalog Galerikertas
  • RUANG
    • Artspace
    • Perpustakaan
  • AKTIVITAS
    • Aktivitas Hanafi
      • Tubaba
    • Aktivitas Artspace
    • Aktivitas Perpustakaan
  • KOLABORASI
    • Tubaba
    • Vida Festival 2018
  • ULASAN

MENGALAMI SENI RUPA

Share!

0shares


Pengantar Galerikertas untuk “60 Tahun dalam Studio”

Kondisi pandemi telah membawa kita pada bentuk solidaritas yang tidak pernah kita temui sebelumnya. Solidaritas kita tidak lagi mengakomodir tindakan berkumpul beramai-ramai, melainkan dengan cara berjarak satu sama lain. Semakin kita menjaga jaga jarak dengan orang lain maka artinya kita semakin peduli dengan keadaan bersama.

            Dengan berjarak satu sama lain, selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan kini berbulan-bulan, kita kehilangan lebih dari separuh kebiasaan yang telah kita ulang selama bertahun-tahun sebelumnya. Pelan-pelan, dengan campuran antara ragu atas hari depan dan sedikit harapan yang masih dipertahankan, kita mencoba untuk menjalani kebiasaan yang tidak lagi sama, tanpa bisa bergerak terlalu jauh, dalam kewajiban karantina.

             Seniman seringkali dianggap sudah melakukan “karantina” jauh sebelum karantina massal di situasi pandemi ini dilakukan. Anggapan itu benar bila dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sebagian besar seniman sudah terbiasa bekerja di rumah atau studio atau tempat kerja lainnya, menyelesaikan karya mereka sendirian, dan bahkan sengaja menjaga jarak dari keramaian. Namun, anggapan itu keliru bila dimaksudkan untuk menyatakan bahwa para seniman sedikitpun tidak merasakan suatu  perubahan yang berarti ketika karantina massal ini diwajibkan pada seluruh masyarakat. Barangkali tak ada satu orang yang merasa hidup berjalan seperti sediakala selama karantina mandiri ini bahkan seseorang yang asosial sekalipun. Pada kenyataannya, dengan suatu dan lain cara, kondisi pandemi telah mempengaruhi proses kreatif seniman dalam berkarya.

            Dalam masa pandemi ini, lebih tepatnya ketika kita sudah berada dalam titik-anjak yang disebut sebagai “kenormalan baru”, pelukis Hanafi memamerkan karya-karya yang dibuatnya selama masa karantina beberapa bulan belakangan. “Apapun kondisi, seniman harus melaporkan karya akhirnya,” ujar Hanafi. Sebagaimana pandemi sangat mempengaruhi berbagai jenis aktivitas manusia saat ini, tentu saja dari karya-karya itu kita juga dapat melihat bagaimana kondisi karantina turut mempengaruhi modus penciptaan karya terbarunya.  Namun, pertanyaan yang krusial, pengaruh seperti apakah itu?

            Pameran ini berjudul “60 Tahun dalam Studio”. Bila dilihat dari judulnya, tentu secara sekilas kita tak menemukan anasir pandemi sedikitpun. Judul ini justru berkaitan dengan momen di mana bulan Juli ini tepat 60 tahun usia Hanafi. Mengapa karya-karya yang diciptakan khusus selama masa pandemi justru diberi kerangka perjalanan hidup yang sudah berlalu selama enam dekade?

            Dari pembacaan sekilas itu, bila kita melangkah lebih lanjut, maka dapat kita temukan bahwa  momen karantina massal ini sekaligus menjadi momen swa-refleksi bagi Hanafi. 60 Tahun dalam studio  jelas sebuah metafora yang memantik kita untuk memikirkan apa makna studio bagi penulis Hanafi. Studio, baginya, jelas bukan dalam pengertian konvensional. Sesuatu yang lumrah, sebagaimana pelukis lain mempunyai bangunan sendiri yang disebut “studio” untuk bertungkus-lumus dengan karya-karyanya, Hanafi pun begitu. Tapi tentu saja, bukan studio dalam pengertian itu yang ingin ditawarkan judul pameran ini kepada kita.

            “60 Tahun dalam Studio” merupakan metafora yang berkait-simpul dengan apa yang sering disebut Hanafi sebagai “mengalami seni rupa”. Dalam “mengalami seni rupa”, studio adalah segala tempat yang menjadi referen personal dalam menciptakan karya, baik yang disadari atau tidak. Studio dalam pengertian “mengalami seni rupa” seperti ini adalah perjalanan hidup, memori yang masih berlanjut, pengalaman yang masih membekas, dan seterusnya; “hamparan yang sangat luas sekali, kadang gambarannya jelas dan kadang kabur belaka, hamparan yang kadang harus dimasuki dan kadang masuk sendiri ke dalam jiwa lagi pikiran. Hamparan itu berisikan hal-hal yang tak bisa disebut sederhana belaka, semisal sekilas kenangan di masa kecil ketika menyusun batu-batu di halaman rumah, kenangan ketika disuruh guru sekolah membuat garis di papan tulis, kenangan terhadap pintu belakang rumah, pengalaman ketika mengantarkan surat Nashar untuk Montingo Busye, kenangan menjadi tukang pelitur, dan seterusnya. Semua itu adalah “studio” dalam “mengalami seni rupa”.

            “Mengalami seni rupa” dengan demikian tidak sekadar sebagai modus interaksi antara manusia dengan karya seni rupa. Dalam kasus Hanafi, “mengalami seni rupa” adalah modus interaksi manusia dan lingkungan, di mana modus itu dengan suatu dan lain cara, dalam jangka waktu yang berbeda-beda, dan disadari atau tidak, menjadi pemantik dalam berkarya. Ini semakin kentara dalam salah satu pandangan Hanafi bahwa baginya suatu karyanya tidak dimulai ketika kanvas mulai ditegakkan dan kuas mulai disapukan. Setiap pengalaman adalah/akan menjadi momen “mengalami seni rupa”. Bagi Hanafi, proses penciptaan karyanya sudah dimulai dari masa-masa jauh sebelum karya itu mulai dikerjakan di kanvas. Kerja yang sedang berlangsung pada kanvas, dengan demikian, hanya melanjutkan proses “mengalami seni rupa” di “studio-studio” lain, di lingkungan dan memori lain, di pengalaman dan interaksi lain, suatu proses yang telah berlangsung jauh-jauh waktu sebelumnya.

            Kondisi karantina massal memberi penekanan tertentu pada aktivitas Hanafi dalam “mengalami seni rupa”. Bila sebelumnya Hanafi “mengalami seni rupa” dengan berbagai modus interaksi antar manusia dan lingkungan, pengalaman dan memori—dan seterusnya—maka situasi pandemi ini menciptakan keterbatasan  tertentu, dan dengan demikian membuat “studio-studio” tertentu jadi tertutup. Meskipun begitu, tetap saja ada “studio-studio” lainnya yang masih terbuka, yang sebagiannya mungkin perlu dimasuki lagi lebih jauh dan dalam, “studio-studio” yang mungkin sudah terbangun dalam diri, entah itu berupa memori, percik permenungan, atau yang sejenisnya.  

             “Studio-studio dalam diri” itulah yang dimasuki Hanafi lebih jauh selama karantina ini. Mengurung diri di rumah dengan keterbatasan interaksi dengan orang lain dan keterbatasan perkakas, terutama kanvas, membuat Hanafi beralih ke medium-medum kecil, medium yang paling mungkin untuk dikerjakan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Hanafi  mendapatkan momen untuk memaksimalkan kerja di atas kertas. “Imajinasi tidak dibatasi oleh medium penggarapan. Membuat batu akik dan membuat karya yang gigantik sekalipun sama-sama membutuhkan kesungguhan prima dan potensi artisitik,” demikian ujar Hanafi.

            Dan pada saat seperti ini,  kemahiran individu mendapatkan tempat seluas-luasnya. “Kondisi yang begitu menghempas-menekan justru membangkitkan sisa-sisa keterampilan yang jarang dieksplorasi sebelumnya. Ketika di masa pra-pandemi, ketika segalanya bisa diraih dengan mudah, ada kemampuan-kemampuan yang tak terbangkitkan…” demikian ujar Hanafi. Kepengrajinan benar-benar diuji ketika situasi serba terbatas.

            Dengan beralih ke karya di atas kertas dengan memaksimalkan pengolahan garis, “motorik halus mendapatkan medannya,” ujar Hanafi setelah menyelesaikan puluhan karya di atas kertas. Sebagai pelukis abstrak yang selama ini lebih banyak bekerja pada bidang-bidang kanvas yang besar dan luas serta sering menggunakan perkakas seperti rol berukuran sedang sampai besar, karya-karyanya memang tidak selalu mengeksplorasi garis. Saya menyebut “tidak selalu” karena memang di beberapa contoh karya lukisan abstrak berukuran paling besar sekalipun, justru kita melihat eksplorasi garis yang maksimal. Hanya saja, contoh seperti itu tidak selalu bisa kita temui, selain karena memang Hanafi tidak menjadikan eksplorasi garis sebagai corak utama karyanya di lukisan abstrak pada kanvas, juga karena tidak semua karyanya membutuhkan eksplorasi garis-garis halus seperti itu. Dan di masa karantina ini, di tengah keterbatasan pada perkakas seperti kanvas, dan kemungkinan berkarya yang masih bisa dilakukan di atas kertas bermedium kecil, kita menemukan bahwa kepengrajinan Hanafi terhadap garis adalah salah satu capaian-capaian terbaiknya.

            Garis-garis Hanafi tersebut bergerak dari corak yang figuratif ke corak yang abstrak. “Di situasi pandemi ini,” ujar Hanafi, “justru tak penting lagi terminologi seperti itu.” Dalam menuju pencapaian estetik, lanjut hanafi, “kendaraan yang kita gunakan bisa apa saja, figuratif ataupun non-figuratif.” Dan memang itulah yang ditunjukkan Hanafi kepada kita, kepengrajinannya terhadap garis, membentang-meluas dari karaktersitik yang berpola sampai ke garis-garis yang selalu menunda bentuk, menjauhi pola, atau garis-garis yang hanya ingin menjadi sebatas “biang bentuk”.

            Karantina masa pandemi ini menyediakan akses waktu yang lebih lama dan dalam bagi Hanafi untuk memasuki lorong-lorong lain dalam perjalananya selama 60 tahun dalam “studio”, dalam “mengalami seni rupa”, melalui eksplorasi garis-garis yang merespons kondisi saat ini. Garis-garis bagi Hanafi tampaknya menjadi kendaraan untuk bolak-balik dari gambaran yang representasional atas situasi pandemi ke gambaran yang abstrak atas situasi-situasi yang tak terjangkau oleh representasi. Dengan garis-garis itu, ia diam-diam menyentuh pengalaman di masa lalu melalui “potret kondisi saat ini”. Di dalam penggambaran atas situasi aktual sesungguhnya terkandung jejak-jejak masa lalu, terselubung proses “mengalami seni rupa” di “studio-studio” lain. Dalam keunikan menggambar situasi aktual, sesungguhnya terkandung akumulasi dari kepengrajinan yang berjalinkelindan sejak masa lalu. Kondisi aktual, riuh-rendah yang sedang dialami, bukanlah kondisi yang berdiri sendiri, seberapapun euforia atas “keaktualan” kondisi itu seringkali membuat kita bersikap seakan-akan telah ada jurang besar antara yang aktual itu dan yang sudah berlalu. Pada lanskap yang menyaru sebagai representasi dari suatu kondisi, bagi Hanafi, tetap diberinya ekspresi abstrak, sebagai penanda dari ruang-ruang yang tak selamanya bisa digambarkan dengan pola, bentuk, dan figur yang lumrah. 60 tahun yang sudah berlalu dalam “studio” sama-sama dialami sekaligus sama-sama misteriusnya dengan beberapa bulan karantina di dalam “studio.” Apa sudah dialami tetap meninggalkan yang terang-benderang dan yang gelap-gulita sebagaimana apa yang sedang dialami sama-sama punya gambaran jelas sekaligus gambaran pudarnya.

            Tapi, apa yang disebut “mengalami seni rupa” tak akan terhenti begitu saja hanya berbagai variasi keterbatasan yang tercipta karena situasi pandemi ini. Bila penciptaan karya di masa karantina ini menyebabkan terjadinya panggilan khusus kepada hal-hal yang jarang dibuka-tutup selama ini, maka begitu juga kondisi pandemi ini adalah bagian dari “mengalami seni rupa” dalam penciptaan karya di masa datang, yang mungkin hadir dengan cara-cara yang tak terduga, memberikan bentuk baru pada pengalaman-pengalaman lain yang tak bisa dimasuki kembali sepenuhnya. Perjalanan dari satu momen “mengalami seni rupa” ke momen “mengalami seni rupa” lainnya senantiasa meninggalkan bagian-bagian yang dapat digambarkan dan yang tak dapat digambarkan.

            Di masa nanti, mungkin bertahun-tahun lagi, atau berpuluh tahun kemudian, dengan cara seperti apa  kita bisa menggambarkan apa yang kita alami dalam kondisi pandemi ini? Dan dengan cara serta bentuk seperti apa pengalaman dalam pandemi ini hadir dalam karya-karya kita? (Heru Joni Putra)

July 19, 2020 / Catatan Pameran
Like this post!

Related Posts

[Berita] Purnama Tugu Rato Edisi ke-4
[Berita] Lampung Daerah Multikultural. Festival Seni Budaya Untuk Peringati 100 Tahun Transmigrasi. Kompas, 21 Desember 2017.
Read More
69 Performance Club “SANDI KALA”
Read More
Kabar dari tim kesenian Tubaba di Azerbaijan.
Read More
[Press Release] Belajar Bersama Maestro “Hanafi”: Seni Rupa dan Lingkungan Hidup Terdekat
Read More
[Video] Mr. Identity

Comments

No comment yet.

Cancel reply
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Next Post
  • Previous Post

Kategori

  • Aktifitas Galeri (63)
    • Aktifitas Galeri (41)
  • Artikel Galeri (28)
  • Artspace (44)
  • Catatan Pameran (50)
  • Galerikertas (70)
  • Hanafi (112)
  • Katalog Galerikertas (16)
  • Kolaborasi Tubaba (38)
  • Kolaborasi Vida (3)
  • Perpustakaan (16)
  • Ulasan (183)
  • Uncategorized (9)

Archives

Artikel Terbaru

  • Katalog Pameran “QYVProspectrum” November 25, 2020
  • Katalog Pameran Irawan Karseno “Melukis dari dalam Kereta” November 20, 2020
  • Katalog Pameran Isolasi 5 Perupa November 20, 2020
  • [Berita] Arena Isolasi 5 Perupa Muda-JawaPos.com November 19, 2020
  • [Berita] galerikertas Gelar Pameran Perupa Pilihan Irawan Karseno-detikHot November 19, 2020
  • [Berita] Jangan Sampai Kelewatan, Galeri Kertas Gelar Pameran Baru Bertajuk “Isolasi 5 Perupa”-getlost.id November 19, 2020
  • [Berita] Kala Rumpang, Perspektif Hanafi Menyikapi Pandemi-yogyapos.com November 19, 2020
Load More...Follow on Instagram
Copyright © studiohanafi 2021