Masyarakat Indonesia Cipta
Masyarakat Seni adalah pendekatan yang dianggap ideal dalam bentuk organisasi, model operasional dan kepemimpinan untuk merintis inisiatif Masyarakat Indonesia Cipta (MIC) di sejumlah kota KTI. Dengan pendekatan organisasi seni berbasis masyarakat, diharapkan seni budaya dan pengembangan masyarakat dapat diciptakan dan diterapkan secara lentur dengan ruang cakupan yang lebih luas; berakar kuat dalam masyarakat hingga pada level akarrumput (grassroot). Masyarakat tidak diposisikan sebagai audiens/penonton yang pasif dan berhenti pada level apresiasi semata, namun utamanya justru terlibat lebih jauh di dalam proses kreatif –sebagai pencipta, pelaku, penggiat, penelaah dan pemirsa kesenian.
Salah satu masalah mendasar yang terjadi tak hanya di KTI, namun juga kota-kota besar lain adalah masyarakat banyak tak selalu punya akses atau privilese untuk berkesenian. Dengan model organisasi seni berbasis masyarakat ini, akan lebih memudahkan dan mendekatkan seni kepada masyarakatsebagai pelaku aktif. Dengan peran dan keterlibatan masyarakat yang lebih optimal dalam proses berkesenian ketimbang model-model organisasi seni lain yang telah ada saat ini, kami percaya peningkatan kualitas dan kapasitas–individu manusia, kelompok, dan masyarakat luas–dapat terjadi secara gradual dan berkelanjutan.
Perumusan konsep Masyarakat Seni berangkat dari premis di atas: sebagai pendekatan atau alternatif lain menuju pengembangan seni budaya dan masyarakat, khususnya dalam hal pemberdayaan. Perumusan konsep ini sifatnya masih tentatif, suatu ‘menuju’ yang prosesnya belum selesai–dan tak akan pernah selesai. Konsep Masyarakat Seni tak punya definisi teoretis tertentu, dan tidak meniatkan untuk kelak menjadi definitif, sebab hanya akan mengurung dan membatasi; yang ada ialah proses pematangan terus-menerus. Konsep ini adalah sebuah kategori deskriptif, lebih berupa seperangkat tatanan nilai-nilai, himpunan pola-pola operasional, prosedur transfer pengetahuan dan pengalaman, karakter dan perilaku kolektif/individual dalam berkesenian dan sebagainya.
Masyarakat Seni berikhtiar untuk menyeimbangkan visi artistik dan sosial, dengan beraspirasi pada pemenuhan kapasitas organisasi seni dengan dan untuk masyarakat di suatu tempat sembari merawat peningkatan aspek artistik. Tentu akan muncul tarik-ulur dan tegangan ketika keinginan untuk merengkuh masyarakat mesti dikompromikan dengan visi artistik dan integritas seniman dalam berkarya–baik secara individual maupun kolektif. Yang ideal kiranya adalah bagaimana untuk mengembangkan perangkat program dan kegiatan yang mendukung misi organisasi dan erat bertaut dengan masyarakat sehingga organisasi dapat berkembang dan berkelanjutan–di dalam sebuah ekosistem masyarakat, ‘pasar’, dan para pemangku kepentingan lain. Dalam konsep Masyarakat Seni, penyeimbangan ideal antara seni dan masyarakat ini adalah bagian dari keasyikan berkesenian dan tantangan yang menghidupi proses.
Sehubungan dengan itu, persoalan yang lebih mendasar, tak hanya di KTI namun juga di kota-kota besar, adalah soal akses kaum muda untuk berkesenian. Akses pada kesenian masih menjadi privilese sebagian kecil saja, dalam arti keterlibatan aktif kaum muda dalam proses kreatif. Apalagi dengan kondisi kehidupan ekonomi rakyat banyak yang kian sulit saat ini, seni seakan menjadi suatu kemewahan.
Tantangannya adalah bagaimana seni (dan kegiatan berkesenian) dapat bertanding dengan semua industri bermodal besar itu untuk menarik minat dan perhatian kaum muda. Bagaimana seni dapat menghadirkan diri sebagai aktivitas yang mengasyikkan atau bahkan ‘keren’, sehingga keterlibatan mereka dapat terjadi secara lebih antusias, intens dan lama. Pertanyaan yang kiranya mesti diajukan bukan lagi “Apa yang dapat kita lakukan untuk kaum muda?”, namun lebih pada “Apa yang dapat kita lakukan bersama kaum muda?”
Minat dan keterlibatan kaum muda dalam seni adalah investasi berharga, khususnya di dalam tema pemberdayaan dan prospek jangka panjang. Mereka adalah calon-calon penggagas, pelaku dan perawat kelanggengan integritas seni budaya dan masyarakat negeri ini di masa depan, sehingga kapasitas dan wawasan mereka perlu disapih sedini mungkin. Sebagai elemen masyarakat yang penting, fokus pada peran kaum muda ini akan sangat menentukan besaran perubahan dalam suatu masyarakat.
Karena itu MIC mendesain sejumlah program sebagai berikut: Pada tahun pertama (2012) dan tahun kedua (2013) akan mencakup lima daerah KTI: Papua, Ambon, Ternate, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Terdiri dari empat program utama:
- Residensi 20 seniman muda dari lima daerah
- Pameran dan peluncuran buku anak pasca-residensi di lima daerah
- Publikasi dan distribusi buku anak Mirah Mini di KTI
- Publikasi buku rekam jejak MIC
- Hibah Masyarakat Indonesia Cipta
Khusus untuk Residensi, di tahun pertama, dari kelima daerah KTI akan diseleksi empat orang seniman muda untuk mengikuti residensi: 1 orang penulis prosa/puisi, 1 orang perupa/pelukis, 1 orang fotografer dan 1 orang pembuat film. Kriteria seleksi peserta mengutamakan nilai-nilai seperti integritas karakter, visi artistik, profesionalisme, etos kerja, dengan rentang usia kaum muda antara 18 – 30 tahun. Para seniman muda ini bisa saja telah menjadi penggiat dalam komunitas seni yang ada di daerah. Proses seleksi dilakukan secara langsung melalui wawancara oleh steering committee (untuk tahun pertama ini dilakukan di tiga daerah: Ternate, NTB dan NTT). Untuk Ambon dan Papua rekrutmen secara tak langsung, yaitu dilakukan oleh mitra seniman yang dipercaya.
Residensi akan berlangsung selama satu bulan pada bulan Juni 2012 saat liburan mahasiswa, bertempat di Studio Hanafi–Depok. Selama satu bulan residensi, para peserta akan diberikan pembekalan ketrampilan artistik, peningkatan kapasitas individu dan tim kerja, organisasi seni, juga sejumlah topik seni budaya dan masyarakat, serta diselingi serangkaian pengalaman berkesenian di luar kelas (lihat lampiran A “Ringkasan Silabus Residensi”).
Penyampaian materi di dalam kelas akan dilakukan dengan pendekatan dialogis, lebih berupa diskusi dan dialog ketimbang ceramah, sehingga para peserta lebih bisa aktif bertukar pikiran ketimbang pasif mendengarkan saja. Sejumlah mitra seniman akan membawakan materi yang sesuai dengan kualifikasi dan kepakarannya. MIC tidak menggunakan istilah yang lazim digunakan selama ini, semisal instruktur, fasilitator atau pengajar, melainkan ‘pemantik kreatif’: dalam arti mereka akan lebih berperan sebagai pemantik gagasan dan pemikiran kreatif para peserta, dengan memberikan stimulasi atau provokasi benak, sehingga proses belajar dan suasana kelas dapat berlangsung hidup. Selain para pemantik kreatif yang durasi kelasnya lebih lama, juga akan dihadirkan beberapa narasumber tamu untuk membawakan pelbagai topik yang relevan.
Residensi juga akan diselingi dengan sesi-sesi di luar kelas, yaitu studi lapang ke beberapa model komunitas seni yang sudah mapan di Jakarta, sehingga mereka dapat berdialog langsung secara lebih mendetail dengan pengelola komunitas. Selain organisasi seni yang telah mapan, mereka juga akan berkesempatan meninjau organisasi seni yang tengah dirintis dan masih berada dalam fase pengembangan, seperti Bogor Arts Museum (BAM) di Bogor.
Comments
No comment yet.