[Kunjungan] Menuju 100 Tahun Juan Rulfo
Dokumentasi: Studio Hanafi
“….Kau akan mendengar suara dari memori-memoriku jauh lebih baik dari suara kematianku – itu pun jika kematian memang memiliki suara” itulah salah satu kutipan dari kumpulan cerpen “Pedro Paramo” karya sastrawan Mexico, Juan Rulfo (1918-1986).
Pada minggu pagi, 15 Januari 2016, perbincangan tentang Juan Rulfo menjadi tema utama di Studio Hanafi. Ines Somellera, seniman asal Mexico yangjuga berprofesi sebagai guru yoga berkunjung ke Studio Hanafi. Kedatangganya didampingi Felia Salim dari Empu Sendok Arts Station (ESAS) dan Desi Harahap, videograper. Kedatangan ketiga perempuan berambut pendek ini bertujuan untuk berdiskusi sekaligus mendokumentasikan work in progress Hanafi.
Menuju 100 tahun sastrawan Juan Rulfo, Hanafi mendapatkan kepercayaan sebagai scenografer untuk meng-alih wahana-kan karya Juan Rulfo terutama dalam karya “Pedro Paramo”. Peringatan 100 tahun Juan Rulfo rencananya akan diselenggarakan di perhelatan Biennale Sastra-Komunitas Salihara pada Oktober 2017 mendatang. Selain di Indonesia, 100 tahun Juan Rulfo juga akan berlangsung di beberapa negara lain.
Karya Pedro Paramo (1955) adalah novel pertama sekaligus terakhir Juan Rulfo, ia memberikan batas tipis antara dunia realitas dan dunia para arwah di sebuah tempat bernama Calamo.
Demi menunaikan amanat menjelang maut menggapai ibunya, Juan Preciado meniti perjalanan mencari ayahnya, Pedro Paramo di Calamo. Dan disini lah kehidupan tidak pernah benar-benar punah. Yang hidup masih tinggal dan menetap di tempat sama ketika ajal menjemput mereka. Dialog-dialog tentang makna sebuah keluarga, atmosfer kota yang miskin, harapan, hingga revolusi dan keruntuhan sebuah rezim tersaji dengan lontaran kata yang memantik imajinasi pembaca.
Inilah realisme magis yang diusung Juan Rulfo di Pedro Paramo. Sepanjang hidupnya, Juan Rulfo hanya menghasilkan dua karya sastra, yaitu kumpulan cerpen El llano en llamas atau The Burning Plain and Other Stories (1953) dan novel Pedro Paramo (1955). Dan selama lebih dari 30 menit, perbincangan antara Hanafi dan tamunya berkutat antara realisme magis, pun karya-karya sastrawan Amerika Latin seperti Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez, Isabelle Allende dibahas lebih mendalam karena memiliki kesamaan mendedahkan karya sastra beraliran realisme magis.
Hanafi juga menunjukan belasan sketsa dalam menafsirkan karya Juan Rulfo terutama Pedro Paramo. Ines lebih memperhatikan pada simbol-simbol yang diusung Hanafi seperti dinding, ranjang, sayap hingga malaikat.
Berulang kali ia berkomentar “I think this is so inspirited… atau that’s so beautiful” ucapnya dengan gaya bahasa tubuh yang ekspresif khas orang Mexico.
“Saya tidak ingin menawarkan sesuatu yang aneh-aneh, wajar, tapi benda itu hidup” ungkap Hanafi. Sedangkan menyoal ruang, Hanafi ingin merefleksikan ruang yang tidak lagi tempat, ruang yang tidak lagi kemungkinan. “Tidak ada di sana, bukan berati hilang” tegasnya.
Hanafi yang juga terinspirasi oleh Antonin Tapies, pelukis asal Spanyol mengungkapkan cara kerjanya yang selalu berlandaskan keseriusan. Itu yang paling penting baginya.
“Saya akan mendapat apa atau kehilangan apa, itu nanti, yang jelas ini sebuah proses. Proses untuk satu jembatan yang akan kita tuju nanti” tutur seniman yang mendefiniskan abstrak sebagai proses mengintisarikan.
Akhirnya, visual yang dia wujudkan dalam bentuk sketsa-sketsa untuk scenografinya tidak hanya berpijak pada visual, tapi baginya yang terpenting adalah “Cara berpikir” dalam menafsirkan Juan Rulfo. Dan, proses penafsiran ini masih panjang hingga panggung Juan Rulfo dapat kita saksikan. (RSA)
Comments
No comment yet.