Keriangan dalam Kesementaraan
Ketika ia masih menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), saya sering melihat Irawan Kareno di semua agenda komite-komite yang ada di lembaga itu. Ia adalah sosok yang ramah dengan siapa saja. Senantiasa riang. Mungkin, karena postur tubuhnya yang cukup tinggi untuk rata-rata orang Indonesia, kita begitu mudah menemukannya di tengah keramaian.
Dari suatu titik, ia gampang terlihat, sedang asyik bercengkrama. Sebentar-sebentar ia sudah terlihat lagi di pojok lain, mengobrol dengan sekelompok lainnya. Tak lama kemudian, ia sudah berada di titik yang berbeda, dan lagi-lagi, sedang bercakap-cakap penuh suka-ria dengan segerombolan lain.
Dan ketika berjalan dari satu titik ke titik lain, ia suka mengangkat tangan kanannya, memberi semacam hormat, untuk menyapa orang lain atau membalas sapaan orang kepadanya. Keramahan seperti itu agaknya sangat khas dari orang-orang yang terbiasa berhadap-hadapan dengan berbagai jenis tingkah-laku manusia, dalam kecendrungan gelanggang yang tak sepenuhnya bisa diduga.
Irawan Karseno merupakan anak kandung dari hiruk-pikuk tiga kota besar. Ia lahir di Surabaya, salah satu kota besar di Indonesia. Kemudian, ia belajar seni rupa di Bandung, kota besar lainnya. Hingga kemudian berkiprah sampai sekarang di Jakarta. Tiga kota besar itu tentu bergerak dengan berbagai level perubahan dan barangkali itulah yang telah membuat Irawan Karseno cepat bersaudara dengan kesementaraan. Ia tampak begitu akrab dengan kesementaraan dan segala yang—meminjam larik Chairil Anwar—“sekali berarti dan setelah itu mati”.
Tapi, kesementaraan itu tidak dijalani Irawan Karseno dengan murung. Malah sebaliknya, penuh keriangan. Dan soal keriangan itu, tak hanya dapat kita temukan dari sosoknya. Juga, dari karya-karya asbtraknya dalam pameran kali ini di Galerikertas. Abstraksi Irawan agaknya tidak sepenuhnya berambisi menghadirkan percik-keheningan melainkan tukik-keriuhan.
Ia seperti sedang melukis dari dalam kereta api. Dalam keriangan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu pengalaman ke pengalaman lain, ia tampak menangkap sesuatu yang hadir sebagai kilasan, mengabadikan sesuatu yang muncul sebagai lesatan, barangkali untuk memberi bekas pada yang lekas tertinggal.
Dari karya-karyanya, ia tampak sebagai pelukis yang senang—meminjam larik lain dari Chairil—“bersandar pada tarian warna pelangi”. Larik itu agaknya tepat untuk menggambarkan karya Irawan Karseno. Bila kata tarian kita gunakan untuk menyebut aspek gerak dalam lukisannya. Tarian itu adalah tarian riang-eskpresif meski sesekali diselingi oleh gerak-gerak lambat dan tenang.
Lalu, kata pelangi kita gunakan untuk menyebut komposisi warna lukisan itu sendiri. Keriangan Irawan tak hanya keriangan berpindah-pindah dari satu corak ke corak lain, tetapi juga keriangan warna-warni. Pada beberapa karyanya bahkan Irawan tampak lebih gembira dengan warna yang apa adanya dibanding mencoba bermain-main dengan—sebut aja—peleburan warna tertentu. Atau, ketika ia ingin bermain-main dengan persilangan warna, itu didapatkannya sebagai efek tak terduga dari keriangannya dalam menyapu dan memoles.
Dengan kata lain, corak-corak warna dalam lukisan abstraknya yang seperti itu adalah sepenuhnya hasil dari peristiwa di atas kertas/kanvas dan bukan campuran antara sesuatu yang katakanlah direncanakan dan sesuatu yang dibiarkan tak terduga. Ia mungkin punya bayangan awal tentang corak warna tapi bukan sebagai tujuan. Bayangan yang dibangun untuk segera diruntuhkan oleh kehendak untuk mencari yang tak terbayangkan sebelumnya. Karya ciptaan adalah sarana untuk menciptakan keriangan dalam mencipta.
Irawan sangat menikmati proses melukisnya hingga ia pun tak sadar bahwa sudah begitu banyak karya yang telah dikerjakannya. Ia sudah begitu riang untuk berpindah dari satu corak ke corak lain; untuk tidak terlalu ngotot memberikan beban wacana kepada para pemandang lukisan abstraknya; untuk menjadikan kerja melukis sebagai kenikmatan untuk melakukan perpindahan dari satu kesementaraan ke kesementaraan lainnya.
Kini, dalam konteks yang lebih luas, orang-orang semakin cemas dengan kesementaraan. Ketakutan untuk tidak dikenang lagi, ketakutan untuk tidak dipandang lagi, ketakutan untuk tidak didengar lagi, ketakutan untuk tidak diperhatikan lagi dan seterusnya adalah bagian kecil dari kecemasan tersebut. Dan ketika semakin banyak yang cemas akan kesementaraan yang seperti itu, lukisan Irawan justru menawarkan keriangan dalam kesementaraan. Keberadaannya, sebagaimana karya-karyanya, membawa momen untuk rileks sejenak dari ambisi untuk abadi.
Tapi, meskipun Irawan tampak begitu riang dan tanpa beban seperti itu, bukan berarti karya-karyanya menjadi manasuka belaka, tak teraba karakteristiknya, dan seterusnya. Bagaimanapun juga, ia tetap tampak memikirkan untuk menciptakan gejala-gejala tertentu di dalam karyanya, gejala-gejala yang membuat kita mau untuk berdiam sejenak di depan karyanya, untuk memasuki semacam ruang-ruang kecil untuk berkontemplasi di antara yang riuh, sekilas momen untuk merenung di antara yang bising, dan merasakan sentuhan akan ketenangan di antara yang kalebut. Seperti kita sedang berada di dalam kereta api.
Dan sikapnya yang begitu riang serta tanpa beban itu tak berarti ia tiba-tiba jatuh sebagai pelukis yang sibuk dengan dirinya sendiri. Justru Irawan bukan pelukis yang seperti itu. Malahan sebaliknya, ia adalah seseorang yang sangat peduli terhadap isu-isu sosial dan bahkan terlibat dalam advokasi.
Dan itulah sebuah posisi menarik yang diambil Irawan Karseno. Sebagai seseorang yang sangat aktif memikirkan isu-isu sosial dan terlibat dalam berbagai kerja advokasi (bahkan di dalam pernyataan-pernyataannya di panggung publik ia selalu bicara soal negara dan kebudayaan), ia justru tak semerta-merta menjadikan karyanya sebagai toa belaka untuk responsnya atas isu-isu sosial tersebut. Ia agaknya memang ingin membiarkan karyanya berbicara sesuai apa yang paling mungkin dibicarakan oleh karya itu.
Tapi, mungkin juga Irawan adalah orang yang percaya bahwa isu-isu sosial seperti itu memang untuk dikerjakan di ranah advokasi dan sejenisnya. Sedangkan kesenian, seberapapun selalu ada ruang untuk menjadikannya sebagai sarana perjuangan sosial, tetap punya keterbatasan sendiri dibanding kerja-kerja yang lebih tersusun secara komunal. Irawan mungkin ingin memaksimalkan ekspresi indiviualnya secara penuh di karya-karya abstraknya sementara itu pada aksi-aksi advokasi ia memaksimalkan dirinya sebagai bagian dari orang banyak yang tentu saja tak sepenuhnya bisa tegak-berdiri sebagai individu belaka. (Heru Joni Putra)
Comments
No comment yet.