[Catatan] Proses Belajar Bersama Maestro 11-18 Juli 2017

Share!

1

Lebih kurang dua minggu, 11-24 Juli 2017, 20 siswa terpilih dari berbagai daerah setingkat SLTA di Indonesia mengikuti program Belajar Bersama Maestro (BBM) bersama Hanafi di Studiohanafi, Depok. Belajar Bersama Maestro (BBM)  merupakan kegiatan tahun ketiga yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Kesenian.  Pada tahun 2017, dipilih 15 orang Maestro dari beberapa provinsi di Indonesia yang akan berpartisipasi dalam kegiatan Belajar Bersama Maestro. Mewakili bidang seni rupa, Hanafi terpilih sebagai salah satu maestro bersama dua maestro lain yaitu Sunaryo dan Timbul Raharjo.

19959068_1823165287999225_9153175025491301779_n

Berikut rangkuman aktivitas peserta BBM dalam seminggu pertama. Kegiatan hari pertama dimulai dengan perkenalan ruang-ruang di Studiohanafi. Mereka diajak berkeliling, mulai dari studio kerja Hanafi, perpustakaan, halaman, dan seterusnya. Berlanjut pada hari kedua, para peserta berkenalan secara dekat. Mulai pagi hari, membicarakan karya-karya mereka yang dibawa dari tempat masih-masing. Lima peserta mulai mempresentasikan karyanya. Sebagian besar lukisan.

IMG_8265

Memasuki siang hari,  mereka berangkat ke Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini. Mereka mengunjungi Pameran Nusa Tenggara Timur di Galeri Cipta III dan berlanjut menghadiri peluncuran kitab puisi “Badrul Mustafa Badrul Badrul Mustafa” karya Heru Joni Putra di Galeri Cipta II TIM. Peluncuran ini diselenggarakan oleh Studiohanafi dengan pembicara Nirwan Dewanto (Sastrawan) dan Ari Jogaiswara (Dosen Sastra Inggris Unpad).

Pada hari ketiga, 13 Juli 2017, Studiohanafi membagikan katalog pameran Hanafi “Oksigen Jawa” yang berlangsung pada 17 April-17 Mei 2015 silam di Galeri Soemardja ITB, Bandung. Melalui katalog, para peserta dapat mengenal konsep dan karya-karya Hanafi yang mengkaji persoalan demografi Jawa.  Selanjutnya, materi masuk pada “Frame” Pemiguraan. Untuk materi tersebut, Hanafi menuliskan catatan khusus yang ditulis tangan dan dijelaskannya bersama Adinda Luthivinati (Manager Program Studiohanafi).

IMG_8528

“Dalam kehidupan sehari-hari, dan hari-hari itu sendiri, berjalan di dalam sebuah batasan yang sementara ini kita sebut frame.” Hanafi memaknai frame melalui daulat Tuhan dan daulat manusia. Daulat Tuhan dalam penciptaanya merujuk pada pola yang bulat, ia mencontohkan seperti hitam mata kita, bulan dan matahari, buah dan isinya, dll. Sedangkan daulat manusia, dengan kebudayaanya, mengambil bentuk kotak seperti pintu, televisi, buku, dll.

Ide atau gagasan sering terjadi dengan kesadaran “mengiris” dari sesuatu yang besar. Irisan itu dapat diiris lagi, dari kisah diri maupun kisah hidup orang lain, dan menjadi suatu cerita. Lukisan adalah gambaran tentang proyeksi perasaan dan perkiraan seseorang tentang sesuatu. Hanafi lalu memberikan contoh dengan mengambil sebuah frame yang ditempelkannya di kaca jendela. “Lukisan itu seperti jendela yang dibuka, tiruan dari alam kenyataan dan lukisan menjadi irisan kenyataan itu,” tuturnya.

Dalam pembelajaran hari ketiga ini, ia mempersilahkan masing-masing siswa untuk melukis di dalam “pola bulat” dengan tema ragam hias. Berangkat dari tema tersebut, para peserta kebanyakan melukis dengan simbol-simbol budaya yang berasal dari daerahnya.

IMG_8706

Selanjutnya, Hanafi membagi 20 peserta menjadi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 anak, mereka diminta untuk membuat lukisan kolaborasi bersama dalam frame bulat dengan ukuran yang lebih besar. Tugas membuat lukisan ini dikerjakan dan hasilnya akan direview di pertemuan berikutnya.

IMG_9403

Selain Hanafi, pada pertemuan ini studiohanafi juga kedatangan Dwinanda Agung Kristianto seorang performer di komunitas Padjak (Performance Art di Jakarta). Nanda menyampaikan materi tentang bagaimana membangun imajinasi, khususnya untuk seniman. Selanjutnya pada malamnya, bertempat di perpustakaan, Heru Joni Putra mengawali materinya “Mengenal Seni Rupa I: Material Sebagai Produk Kultural” dan “Proses Menuju Tema”

2.HERU

Heru menyampaikan tentang sekilas perkembangan karya seni rupa di Indonesia dari masa ke masa dan menunjukkan beberapa contoh populer karya seni rupa dari luar negeri, untuk melihat bagaimana seorang seniman merespon kondisi sosial, budaya, dan politik di zamannya dan bagaimana seniman tersebut mengartikulasikannya dengan berbagai modus penciptaan, beragam material yang digunakan, serta nalar visual yang berbeda satu sama lain, dst. Selanjutnya ia memberikan tugas untuk menuliskan pandangan para peserta terhadap berbagai karya seni rupa yang sudah mereka lihat di Pustaka Studio Hanafi

Eesoknya, pada hari ke-4, Jumat 14 Juli 2017, Heru dan peserta mendiskusikan tulisan-tulisan  peserta tersebut dan lebih lanjut mereka diajak memahami perihal aspek kultural dari benda-benda di sekitar kita. “Suatu benda ataupun material dilihat sebagai suatu produk budaya yang tak hanya memiliki fungsi instrumentalnya, melainkan juga mengandung nilai-nilai budaya dari zamannya sendiri; benda-benda tersebut tak lagi digunakan berdasarkan nilau guna, melainkan sekaligus menjadi artikulasi dari perbedaan sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat itu sendiri,” kata Heru Joni Putra. Peserta diajaknya untuk merespon aspek kultural dari material-material tersebut dalam percobaan penciptaan karya-karya mereka nantinya.

4

Selanjutnya, Sabtu, 15 Juli 2017 adalah waktu untuk belajar di luar kelas. Dari Depok, para peserta menempuh perjalanan dengan kereta menuju kawasan Kota Tua, Jakarta. Di mulai dengan memasuki Museum Fatahillah, mengenal sejarah Jakarta melalui koleksi museum seperti barang-barang antik, lukisan, catatan-catatan hingga penjara bawah tanah.

Kunjungan lalu berlanjut ke Museum Seni Rupa dan Keramik, di museum ini peserta dapat menyelami sedikit sejarah seni rupa Indonesia dari masa kolonialisme, pergerakan, hingga munculnya gerakan seni rupa modern.

1.SEMI

Pada Minggu 16 Juli 2017, Semi Ikra Anggara memberikan pengenalan dramaturgi melalui praktik dasar teater dalam bingkai seni rupa. Ia mengawali pertemuannya dengan percakapan konfik sebagai esensi drama dan impresi terhadap ruang sebagai esensi teater dan rupa. Peserta diajak bermain untuk mengasah ketangkasan, stimulus dan respon, konsentrasi, kerjasama dan eksplorasi ruang. Dalam pertemuan ini tubuh menjadi satu-satunya medium dalam penciptaan teater, pada bagian akhir, peserta dibagi menjadi dua grup, masing-masing grup membuat anatomi tubuh binatang dan setiap peserta memiliki konstribusi maksimal dalam komposisi ini. “Saling percaya antara anggota sangat penting, sebab setiap orang saling menguatkan dalam komposisi, ego pribadi mesti dilenyapkan” tutur Semi.

Selanjutnya, Senin, 17 Juli 2017, materi di mulai dengan pemutaran 3 video pameran Hanafi yang didokumentasikan oleh Afrizal Malna. Sebelum pemutaran video, Afrizal memberikan  penjelasan menyoal proses kreatif Hanafi. “Hanafi adalah seorang perupa yang selalu bekerja dengan ruang. Hanafi juga sosok seniman yang bekerja dari dalam dan pameran menjadi penting untuk mengekspresikan apa yang dari dalam untuk ke luar,” tuturnya.

Video yang diputar dalam sesi pembelajaran ini terdiri dari: Pameran “Pintu Belakang Derau Jawa” (1-15 Maret 2017 di Galeri Nasional), Pameran Hanafi 12 tahun silam yang berjuluk “ID” (1-22 September 2012 dengan kurator Jim Supangkat), dan ketiga, sebuah video yang menceritakan proses kreatif Hanafi pada puteranya berjudul “Cerita Buat Kiki”

4.NONTON

Melalui ketiga pameran yang diputarkan, Afrizal Malna memaparkan bahwa ciri khas kerja kesenian Hanafi selalu melibatkan banyak lintas seni dan banyak orang. Seperti pada pameran Derau Jawa Pintu Belakang dan “ID” keduanya di Galeri Nasional.

Pada pameran ID di Galeri Nasional, Hanafi melibatkan beberapa seniman seperti  komposer Slamet Abdul Sjukur (Alm) untuk musik dan penampilan Fitri Setyaningsih dan aktor pantomime, Jemek Supardi, asal Yogyakarta.

“Ketika mempersiapkan pameran, detail-detailnya harus dipikirkan, termasuk juga ruang untuk mendesain koreografi,” tutur Hanafi menanggapi pamerannya.

Asa Nor Faricha, salah seorang peserta BBM, memberikan tanggapannya terhadap video-video tersebut bahwa, “Dalam membuat karya seni tidak hanya profesi atau keahlian saja tapi di baliknya ada konsep yang matang dan lintas seni lainnya,” ungkapnya. Begitupun dengan ungkapan Afrizal di akhir sesi, ia menuturkan, dari video-video yang diputar merefleksikan bahwa dalam kerja kesenian itu berlaku seperti seorang sainstis dan di dalamnya terdapat kerja keilmuan.

9.PRESENT

Usai pemutaran video, kelas berlanjut pada presentsi lukisan yang dibuat oleh kelima kelompok di dalam frame bulat. Pada kelompok pertama, menampilkan pemandangan masing-masing daerah antara pedesaan dan perkotaan. Hanafi menanggapi lukisan tersebut dalam cara bagaimana kemungkinan untuk menetapkan sebuah titik tengah untuk membangun desa dan kota menjadi satu kesatuan.

Kelompok kedua melukiskan budaya dari 4 daerah  melalui simbol budaya yang beragam pula, Barongan dari Kudus, Tugu Kujangdari Bogor, Rumah Joglo dari Yogyakarta dan danau Toba dari Samosir-Sumatera Utara.

Mereka mengungkapkan penyajiannya dengan menampilkan gambar untuk saling melengkapi agar tidak terlihat seperti menggambar masing-masing. Hanafi pun melihat bahwa keakraban satu sama lain dalam gambar ini lebih terlihat.

Serupa dengan kedua kelompok sebelumnya, kelompok ketiga melukiskan tiga daerah dalam potongan gambar serupa potongan kenangan. Ketiga budaya daerah  yang ditampilkan dari Kalimantan di antaranya Topeng hudoq dan Mandau sebagai senjata khas Sulawesi, lukisan rumah Tokonan, sosok pria Bugis dan Badik dan tertulis “Tanah Ogi” atau Tanah Bugis.

Kelompok keempat menyajikan tema “Indonesia” yang dilukiskan melalui 4 monumen dari 4 daerah. Perbedaan 4 waktu dari masing-masing daerah tersebut juga dilukiskan dengan langit yang berbeda dari pagi, siang, sore dan malam. Melalui lukisan ini mereka menyimpulkan bahwa di antara empat perbedaan ini ada titik pertemuan untuk menjalin persahabatan.

Kelompok terakhir mengusung tema “Budaya Kita”. Mereka melukiskan 4 sosok perempuan dari Jawa, Padang, Gresik dan Tangerang dengan memakai pakaian khas masing-masing daerah. Melihat lukisan ini Hanafi langsung menanggapi, “saya seperti melihat sebuah teater”.

6.PRESENT

Dengan melihat keseluruhan lukisan dari kelima kelompok, Hanafi melihat kekuatan konsep dari para peserta yang sudah disajikan dengan baik dalam menyampaikan pesan budaya, namun sebenarnya lebih menarik bila ada pertukaran budaya dari masing-masing peserta. “Misalnya siapa yang melihat budaya siapa dan melukiskannya,” tutur Hanafi.

7.MEMBUAT KANVAS

Usai membuat lukisan kelompok, para peserta kembali ke studio untuk membuat cara membingkai kanvas. Dibimbing oleh Hanafi dan Apep yang sudah bekerja lebih dari 12 tahun dengan Hanafi, mereka diajarkan bagaimana memasangkan spanram dan kanvas. Dimulai dengan lem dan bagaimana memakunya dengan kuat. Bukan pekerjaan mudah untuk melakukannya karena butuh akurasi dan ketepatan saat memasangkan kanvas tersebut. Kanvas yang telah selesai akan digunakan oleh masing-masing peserta untuk melukis karya pribadinya.

4

Pada Rabu, 18 Juli, para peserta mempresentasikan masing-masing konsep yang akan dilukiskan pada karyanya. Heru Joni Putra mengatakan bahwa konsep adalah acuan untuk proses berkaya, penulisan konsep ini tidak terbatas, bisa dimulai dari satu kata hingga banyak paragraf sekalipun. “Suatu konsep membuat kita berpikir untuk menggali persoalan lebih mendalam dan meluas,” ungkapnya. Setelah konsep masing-masing peserta dipresentasikan dan direview, dalam dua hari ke depannya para peserta mengartikulasikan konsep tersebut di atas kanvas. Percobaan demi percobaan. Tema dari setiap konsep beragam, dari mulai tema metamorphosis, refleksi, keluarga, pikiran, ego, jungkir balik, ekologi, desa dan kota, sendal,  hingga gerak tari. “Di kesenian itu tidak hanya pintar melukis tapi juga mewacanakan, agar karya kita dapat jelas menyampaikan pesan dan menghadapi publik,” jelas Hanafi.

Setiap peserta memiliki kesan yang berbeda dalam setiap pengajaran. Seperti tanggapan Ricky Ibra Aghari yang juga menjadi ketua kelas di BBM kali ini. Ia mengapresiasi bahwa baru pertama kali mendapatkan metode pembelajaran yang berbeda dari sekolah umum yang dijalaninya selama 12 tahun. “Metodenya semacam non-formal kayak gini yang betul-betul kita dibebaskan, betul-betul gak ada yang namanya kamu salah, kamu jelek, yang penting jadi ekspresi, yah ekspresikan aja, bebas, tapi berkonsep,” jelas Ibra.

Tujuannya dengan mengikuti program BBM untuk memahami makna “kebebasan dalam seni” khususnya dalam seni rupa perlahan mulai ia temukan. “Ketika berkesenian bebas itu bukan ketika kita menggambar bebas, tapi bebas itu hanya ada di hati kita, kebebasan internal,” jelasnya.  Lebih lanjut, ia memaparkan, bahwa yang dimaksud seni  adalah  apa yang terjadi bukan apa yang dijadikan, jadi karya yang dibuat itu betul-betul dari nurani, jadi nurani dulu baru pikiran. “Sebuah karya seni itu baiknya diambil dari hal yang sederhana, gak perlu jauh-jauh, kita yang mengalami dan kita yang bisa menghayati lebih mendalam.”

DSCF1226

Selanjutnya, waktu yang tersisa selama pembelajaran di Studiohanafi akan ia pergunakan semaksimal mungkin, sebab ia mempunyai harapan untuk bekal ilmu yang akan dibawanya pulang ke daerah asalnya, Banjarmasin- Kalimantan Timur. “Kalau untuk diri sendiri pastinya akan meningkatkan lagi keterampilannya, kalau untuk orang lain yang jelas ingin sharing ke teman-teman dan komunitas-komunitas seperti ekskul art club di sekolah.” Baginya, ilmu yang didapat bila hanya untuk diri sendiri akan berkurang, bila dibagikan tentunya akan selalu bertambah.

*Ratu Selvi Agnesia. Foto: Rizki A.G

/ Artspace

Comments

No comment yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *