studiohanafi.com studiohanafi.com studiohanafi.com
Navigation
  • PROFIL
    • Profil Hanafi
    • Manajemen
    • Kontak
  • GALERIKERTAS
    • Aktivitas Galerikertas
    • Catatan Pameran
    • Artikel Galerikertas
    • Katalog Galerikertas
  • RUANG
    • Artspace
    • Perpustakaan
  • AKTIVITAS
    • Aktivitas Hanafi
      • Tubaba
    • Aktivitas Artspace
    • Aktivitas Perpustakaan
  • KOLABORASI
    • Tubaba
    • Vida Festival 2018
  • ULASAN

[Catatan Dramaturgi] Memulai Teater di Tubaba

Share!

29shares

 

17917216_10211171873205779_2816501710844526486_o

Oleh: Semi Ikra Anggara

Mungkinkah Teater tumbuh di Desa? Wiratmo Soekito dalam menanggapi pembicaraan Chairul Harun dalam “Pertemuan Teater 80: Menengok Tradisi” secara sinikal membantah pernyataan ikhwal kemungkinan desentralisasi teater di seluruh Indonesia, Wiratmo Soekito secara tegas menyatakan teater secara representatif hanya bisa tumbuh di pusat, sembari mencontohkan maestro Rendra yang hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta, dia menyatakan teater yang representatif hanya bisa tumbuh di Jakarta!

Persoalannya bukan masalah apakah teater itu representatif atau tidak? Tapi sejauhmana teater itu berfungsi bagi pertumbuhan masyarakat. Pada saat Pertemuan Teater 80 digelar para budayawan ternama masa itu belum memiliki akun media sosial semacam facebook atau instagram, jadi mestilah dimafhumi bahwa pergaulan internasional pada masa itu terutama melalui literatur-literatur Barat yang mereka baca, yang seringkali datang terlambat. Bahkan setiap kali projek kebudayaan kita senantiasa ditandai oleh keterlambatan dan ketergesaan, selalu takut Barat meninggalkan kita. Demikianlah nasib projek politik kebudayaan di negara Pascakolonial.

Tapi hari ini kita sedang berada dalam suasana Metropolitanisme; kita tidak lagi membaca Stanilavsky dalam kurun empat dekade setelah An Actor Prepare ditulis dan kemudian diterjemahkan, kita sedang berada dalam masa Saat Romeo Castelucci mementaskan “Inferno” kita bisa secara cepat menyaksikannya lewat Youtube, apa-apa yang terjadi di New York secara instan kita bisa mengetahuinya di Tubaba. Metropolitanisme adalah saat di mana orang-orang saling berhubungan, pikiran, pengetahuan dan emosi bisa saling berelasi.

18485553_1791025131213241_4201736983098930300_n

Saat dunia sedang berada dalam metropolitanisme pengertian-pengertian baku menjadi kabur, Desa tidak relevan lagi disebut sebagai satu wilayah yang terioslasi dari pergaulan kota atau organismenya hidup seperti orang-orang kota. Sungguh pun ini tidak menafikan sejumlah wilayah yang masih harus mendapatkan dukungan pembangunan. Di Tubaba sejak pemerintah daerah gencar membangun infrastruktur kota, termasuk memfasilitasi warganya dengan jaringan internet di sejumlah titik membuat warganya hidup tidak lagi sepenuhnya dengan identitas “desa”. Anak-anak di Tubaba, seperti warga kota pada umumnya kini berselancar di internet, memakai bahasa yang berbeda, menggunakan fashion yang mengikuti perkembangan di kota-kota lain, mengikuti perkembangan politik dan secara tak sadar membentuk identitas “baru”.

Tapi pemerintah Tubaba bukan hanya tertarik dalam pembangunan infrastruktur, melainkan juga suprastrukturktur, bukan hanya membangun gedung megah tapi mengisinya dengan aktivitas kebudayaan yang pada dasarnya mengolah intelegensia generasi muda Tubaba. Program-program ini tak hendak sekedar melatih manusia membuat karya seni lantas berakhir sebagai komoditi, lebih dari itu bagaimana generasi masa depan Tubaba mengubah Tubaba menjadi lebih baik di masa depan. Sebuah strategi kebudayaan yang berlandaskan fakta objektif, salah satunya adalah bahwa projek kebudayaan ini mestilah menghormati nilai-nilai pluralisme: inilah yang menyebabkan seluruh program terbuka bagi manusia Tubaba tanpa mengenal ras, suku, golongan dan agama. Sebab memang hanya dengan demikian desain kebudayaan bisa diciptakan.

Sebagai salah satu desain kebudayaan di Tubaba, program Teater telah memasuki usianya yang kedua, sungguh pun pada tahun pertama, pementasan teater Tubaba yang bertajuk “Perburuan Cutbacut yang Tidak Selesai” hanyalah sebuah pementasan “dalam rangka” namun demikian teater tersebut dalam prosesnya berjalan hampir 8 bulan, sebuah perjalanan lumayan panjang bagi permulaan teater, meskipun sejumlah pihak menunjukan kritik negatif pada karya tersebut (apa pun motifnya), namun bukan pada produk akhirlah yang relevan kita bincang dalam essei ini, melainkan fakta objektif bahwa proses tersebut telah menjadi pondasi bagi proses teater di Tubaba selanjutnya. Fakta unik lain dari proses debut anak-anak Tubaba, karena atmosfir teater yang belum tercipta selama ini mereka hanya melihat teater lewat youtube.

18274999_1785363335112754_8892456187897254564_n

Maka sudah merupakan satu hal yang mustahil jika program selanjutnya adalah program yang mengevalusi program sebelumnya dengan cara mengisi celah-celah kelamahan pada tahun silam. Maka tim fasilitator program menyusun kerangka kerja dengan yang berfokus pada dua modus kerja: yang pertama kerja teater berdasarkan bahasa, dan yang kedua kerja teater berdasarkan impresi terhadap ruang. Kemudian pada produk akhir dari proses yang kita beri tajuk “Festival Teater Tubaba 2017” kita akan menyaksikan dua buah pementasan berdasarkan naskah realisme “ Ayahku Pulang” karya Usmar Ismail dan “Sayang Ada Orang Lain” karya Utuy Tatang Sontani. Dengan cara yang berbeda ditampikan pula sebuah site specific theatre : “Anak-anak dari Pohon Karet”.

18446738_1790538181261936_8855606553840031465_n

Kerja dalam Realisme pada mulanya memiliki modus dengan titik pijak kerja pikiran, aktor-aktor membaca teks, menganalisis, menemukan meaning di balik teks, mempertemukan teks dengan pengalaman-pengalaman mereka. Realisme yang sejatinya merupakan produk modernisme, dengan metode kerjanya yang dianggap universal diharapkan mampu membantu para peserta pelatihan teater di Tubaba mengekplorasi seluruh pengalaman dirinya sehingga secara substansial mendorong setiap peserta didik menjadi individu-individu yang kuat. Dalam membawakan karya pelopor seni film di Indonesia “Ayahku Pulang” mereka ditantang bermain dalam kedalam gejolak emosi yang mengharu biru, mencoba bermain dalam takaran dan setia apa-apa yang menjadi laku luar senantiasa bersala dari dalam jiwa. Sementara dalam lakon “ Sayang Ada Orang Lain” kesadaran terhadap sejarah coba dihidupkan, lakon yang berasal dari kurun waktu saat dunia berada dalam situasi perang dingin dan Indonesia sedang berada dalam upaya hegemoni dua  kekuatan besar blok Barat-Timur, secara metaforik ditampilkan Utuy dalam konflik domestik. Dalam menggarap lakon Utuy, selain bermain dalam tatanan psikologis, akor-aktor didorong melakukan kerja-kerja pikiran yang lebih substansial.

Pembacaan sejarah penting sebagai jalan dalam menalar diskursus kebenaran yang juga merupakan premis dalam lakon, dalam menalar sejarah orang tidak berjalan dengan pikiran kosong di hari ini, melainkan berjalan dengan pikiran terbuka bahwa ‘kebenaran’ yang diamini diri kita senantiasa berdampingan dengan ‘kebenaran’ versi orang-orang lain. Dengan mengakui kebenaran versi orang lain pula kita bisa berada dalam situasi demokrasi yang sejati. Pembelajaran terhadap diskursus kebenaran ini sekaligus mengajak para peserta pelatihan teater di Tubaba untuk menalar realitas hari ini, dimana sifat-sifat tidak menghormati orang lain, ngotot dengan kebenaran diri sendiri, berpotensi menumbuhkan fasisme dalam dunia demokrasi. Mempelajari sejarah kali ini adalah mencoba bergerak hari ini ke belakang lantas kembali pada hari ini sehingga kita bisa lebih terbuka menatap masa depan.

Versi kebenaran Realisme bukan satu-satunya yang kami tawarkan dalam festival kali ini. Perkembangan dramaturgi sejak lebih 20 abad silam telah memperlihatkan banyaknya perkembangan dramaturgi yang lebih mutakhir, Ellinor Fuscsh dalam penelitiannya terhadap teater-teater tanpa teks tulis menerbitkan buku “The Death of Character”, sementara Maria Vankourhoven mengumumkan adanya dramaturgi baru (New Dramaturgy) untuk menunjukan teater-teater yang tidak lagi mendasarkan diri pada struktur dramaturgi Aristotelian, tidak lagi mendasarkan diri pada dramaturgi yang berasal dari produk modernisme. Maria menunjukan jalan yang lebih demokratis dalam dunia teater, kerja-kerja lintas media menunjukan bahwa platform teater bisa bergerak dari mana saja: dari pengalamn personal kita tanpa harus jadi karakter tertentu, bisa dari benda-benda di sekitar kita, bisa dari berita di koran, bisa dari status fesbuk, bisa dari mana saja.

18403460_1790538254595262_2850324995531540367_n

Pada kesempatan kali ini kami berusaha membuat teater dengan tema ekologi yang dibawakan dengan cara mengambil langsung situs yang menjadi tema pementasan dan adegan-adegan disesuaikan dengan tempat yang natural (site specific theatre), kami beri tajuk “Anak-anak pohon Karet”. Hanya sepintas saja anak-anak melakukan riset tentang sejarah karet yang berasal dari Amerika Utara hingga kolonialisme membawaya ke Nusantara, termasuk Lampung. Selebihnya anak-anak dibiarkan memanggil imaji dan pengalaman mereka sehingga teater lebih mirip sebagai situs bermain dan berbagi. Jika para penonton berkenan teater ini memberikan tempat untuk terlibat. Pilihan bentuk teater semacam ini sekali lagi didasari alasan kami untuk menunjukan versi-versi kebenaran agar kita tidak merasa paling benar sendiri, sekaligus mengkonfirmasi potensi peserta didik yang berbeda-beda.

Selama ini anak-anak di Tubaba hanya menyaksikan teater lewat youtube, sungguh ajaib bahwa anak-anak Tubaba lebih dahulu bermain teater dibanding menyaksikan teater secara langsung. Dan pada kesempatan kali ini mereka berkesempatan menyaksikan pertunjukan Teater Satu dari Bandar Lampung, sebuah grup teater yang telah memiliki legitimasi internasional, selain telah terbukti menunjukan penjelajahan estetik yang  kaya. Teater Satu suntuk dalam teater realisme, menggunakan metode akting Stanilavsky sebagai jalan yang substansial bagi penjelajahan estetik teater apapun. Karya-karya mereka seperti “Aruk Gugat” “ Burried Child” dan “Wanci” menunjukan keberhasilan jalan yang substansial itu. Pencapaian Teater Satu diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda teater Tubaba.

Sekali lagi bukan representatif atau tidak representatif teater di sebuah kota. Tapi bagaimana teater  bisa berfungsi bagi perkembangan manusia di sebuah kota sehingga kota itu berubah menjadi peradaban yang baik. Visi pemerintah Tubaba yang unik menjadikan kesenian sebagai medium pengembangan warga patutlah mestilah didukung oleh segenap elemen di kota ini, oleh sebab itu pula kami mencoba bertemu dengan berbagai pihak untuk mengkomunikasikan program festival teater ini. Teater tidak boleh menjadi alien bagi masyarakat, dia harus menjadi energi pengubah membongkar apa-apa yang sudah beku dan statis menjadi kembali dinamis.  Semoga harapan ini bisa menghasilkan buahnya setidaknya dalam satu dekade ke depan! Atau setidaknya 100 tahun lagi!

Vita Brevis Ars Longa!

May 16, 2017 / Ulasan / Tags: #Festival Teater Tubaba 2017, teater tubaba
Like this post!

Related Posts

Read More
Catatan Perkembangan Teater Tubaba
Festival Teater Tubaba 2017 Sukses Digelar
[Liputan] Kisah Anak-Anak dari Pohon Karet. Ulasan Festival Teater Tubaba 2017 di Kompas oleh Silvester Petara Hurit.
Menuju Festival Teater Tubaba 2017
Memulai Generasi Teater di Tubaba
Read More
Catatan Teater Tubaba

Comments

No comment yet.

Cancel reply
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Next Post
  • Previous Post

Kategori

  • Aktifitas Galeri (63)
    • Aktifitas Galeri (41)
  • Artikel Galeri (28)
  • Artspace (44)
  • Catatan Pameran (50)
  • Galerikertas (70)
  • Hanafi (112)
  • Katalog Galerikertas (16)
  • Kolaborasi Tubaba (38)
  • Kolaborasi Vida (3)
  • Perpustakaan (16)
  • Ulasan (183)
  • Uncategorized (9)

Archives

Artikel Terbaru

  • Katalog Pameran “QYVProspectrum” November 25, 2020
  • Katalog Pameran Irawan Karseno “Melukis dari dalam Kereta” November 20, 2020
  • Katalog Pameran Isolasi 5 Perupa November 20, 2020
  • [Berita] Arena Isolasi 5 Perupa Muda-JawaPos.com November 19, 2020
  • [Berita] galerikertas Gelar Pameran Perupa Pilihan Irawan Karseno-detikHot November 19, 2020
  • [Berita] Jangan Sampai Kelewatan, Galeri Kertas Gelar Pameran Baru Bertajuk “Isolasi 5 Perupa”-getlost.id November 19, 2020
  • [Berita] Kala Rumpang, Perspektif Hanafi Menyikapi Pandemi-yogyapos.com November 19, 2020
Load More...Follow on Instagram
Copyright © studiohanafi 2021