Biografi Kertas

Share!

Catatan Pameran “Marang Ibu” – Ugo Untoro Oleh Heru Joni Putra

A

Sehelai kertas, ketika mulai digunakan, maka saat itu kesementaraan datang, menyelubungi, dan menjadi bagian darinya. Karcis pertunjukan, tanda parkir, pamflet, petunjuk resep, dan seterusnya, adalah produk kertas yang terselip dalam aktivitas sehari-hari kita. Gunanya sangat krusial, tapi cenderung tidak untuk selamanya. Kehilangan atau penyalahgunaan kertas itu dalam jangka waktu tertentu bisa berdampak pada terjadinya persoalan lebih besar. Akan tetapi, setelah jangka waktunya habis, maka tak ada lagi bedanya dengan lembaran koran yang jadi bungkus gorengan. Begitulah kesementaraan bersemayam di dalamnya.

Namun, kesementaraan seperti itu bisa ditaklukkan oleh sesuatu nilai yang kita anggap berharga padanya. Apa beda uang kertas 100.000 dengan selembar BIOGRAFI KERTAS Heru Joni Putra amplop? Keduanya bisa robek di saat bersama, karena ketidakhati-hatian kita, namun ketika itu terjadi kita buruburu mengambil uang tersebut dan membiarkan amplop terbuang begitu saja. Nilai yang sudah diberikan pada kertas-uang itu membedakannya dengan saudara sekaumnya, kertasamplop. Kepatuhan kita pada nilai yang diberikan pada kertas-uang, membuat kita fasih membedakannya dengan kertas-amplop.

Persoalan memberi nilai itulah yang kemudian sering menyelamatkan kertas dari bujuk-rayu kesementaraan. Meski karcis dan lain-lain itu telah menjadi tempat bersemayam kesementaraan, namun ada-ada saja yang bisa membuatnya berada dalam kuasa keabadian. Para kolektor benda keseharian bisa membuat usianya lebih panjang tak terkira. Petunjuk resep, rekening listrik, catatan dokter, dan seterusnya, dikumpul-koleksikan lalu pada gilirannya, suatu hari nanti, digunakan untuk merekontruksi sejarah sehari-hari masyarakat pada periode tertentu. Waktu, dengan demikian, memberi tambahan nilai pada kertas yang sering dibutuh-lalu-lupakan itu. Tapi tak hanya soal waktu, nilai pada benda keseharian itu juga bersumber dari cara kita memahaminya. Di tangan seseorang pengkaji budaya, yang senantiasa berikhtiar melihat gerakgerik kebudayan dari sudut pandangan yang berbeda, sebuah stiker yang biasa ditempel di pintu angkot, atau daftar belanjaan yang dikumpul pada periode tertentu, bisa lebih berharga dari uang, bukan?

Namun, kesementaraan terus menghantui para pemuja kertas. Barangkali itu sebabnya kita mesti repot-repot melakukan banyak cara, mengembangkan teknologi, agar bisa menghalau kedatangannya. Kita lega karena penemuan teknologi perpustakaan yang berkembang di dunia ini, dari zaman ke zaman, dan akan terus berkembang. Kita tak terlalu pusing lagi bahkan ikut merasakan nikmatnya menyaksikan teks-teks dari peradaban-peradaban lampau saat sekarang ini.

Namun begitu, banyak sekali dokumen era kolonial yang dibawa penjajah ke negeri asalnya tak mungkin dipulangkan ke Indonesia. Dokumen-dokumen itu, yang sebagiannya mungkin hanya benda sehari-hari di zamannya, tak bisa kita miliki sepenuhnya, bahkan kita hanya bisa terpukau dari jauh, karena ruang-ruang koleksi di negeri kita hanya akan membuat semua dokumen tersebut tunduk di bawa kuasa kesementaraan.

B

Kertas sepertinya menjadi medan pertarungan paling sengit antara versi lain dari keabadian dan kesementaraan, digital dan manual. Membicarakan kerja di atas kertas di era perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini seringkali menjebak kita dalam lelaku membagi pilihan hidup menjadi dua, manual versus digital, yang seakan-akan tak ada model hubungan lain di antara keduanya.

Kerja manual di atas kertas dan kerja digital, apalagi dalam konteks modus penciptaan seni, tak bisa terburu-buru dibawa dalam lelaku dikotomis seperti itu. Cara kita memperlakukan kertas jauh-jauh hari meninggalkan berbagai lelaku kreatif yang tak bisa digantikan dengan medium lain meski sekarang di saat yang sama kita pun dipermudah oleh teknologi digital. Entah berapa begitu banyak kerja kreatif yang muncul, berkembang, dan terus dilakukan, menggunakan kertas, begitu juga revolusi teknologi digital pun membuka medan-medan penciptaan baru yang sangat khas di ranahnya sendiri. Dengan kata lain, kerja di atas kertas dan kerja di komputer sesungguhnya dua ranah yang mempunyai langgam yang berbeda, keduanya seiring meski tak harus sejalan, dalam modus penciptaan seni kita.

Kita mungkin teringat dengan “masyarakat tanpa kertas” yang diproklamirkan oleh ahli informatika F.W Lancaster pada tahun 1978 lalu. Ia begitu antusias menyambut kedatangan teknologi digital. Instrumen komunikasi dan informasi menggunakan kertas menjadi material pertama yang diucapkan selamat tinggal olehnya. Dengan begitu, perpustakaan, akan segera berganti, sebuah evolusi yang tak terelakkan, ke bentuk digital. Namun, pada gilirannya, bahkan kurang dari dua dekade kemudian, “masyarakat tanpa kertas” yang sudah terlanjur diumumkannya itu justru semakin dilemahkan oleh banyak pihak.

Revolusi digital tidak salah, bahkan memang menjadi konsekuensi logis dari peradaban kita hari ini, namun ketika itu dijadikan sebagai ucapan perpisahan untuk apapun yang menggunakan kertas, maka itulah jembatan lapuk yang terinjak oleh Lancaster, hingga banyak orang kemudian terjebak dalam lelaku membentur-benturkan antara kerja di atas kertas dan kerja di instrumen digital.

Kini, pertemuan pendukung kertas atau pendukung digital sungguh mustahil dibayangkan seumpama pertemuan dua gerombolan tukang sorak klub sepakbola yang berlawanan, meskipun keduanya mempunyai alasan yang berbeda dalam mendukung kedua medan penciptaan itu, bahkan toh kita menjumpai banyak orang yang menggunakan keduanya sekaligus, apalagi dalam dunia seni. Banyak sekali seniman kita, apalagi dalam seni rupa, memanfaatkan segala instrumen penciptaan yang pernah ada dengan sama baiknya. Kerja terampil tangan perupa di atas kertas tentu tak tergantikan oleh instrumen digital begitu juga sebaliknya aspek ketepatan maupun kecepatan yang diusung teknologi komputer pun tak selamanya menjadi tanggung jawab kerja-tanganmanual. Harum kertas dalam membaca buku tentu tak tergantikan oleh buku elektronik, namun kecepatan persebaran ilmu-pengetahuan baru melalui e-book tentu tak terkawal oleh buku-cetak sepenuhnya.

C

Kerja perupa di atas kertas, pada sisi tertentu, terlanjur dianggap sebagai prakarya. Sketsa-sketsa yang ditorehkan di atas kertas sebagai acuan untuk sebuah karya patung atau instalasi, misalnya, seringkali sekedar menjadi acuan dua dimensi dari karya tiga dimensi yang dituju. Keberadaannya tak lebih dari tempat untuk melakukan rekontruksi gagasan yang sedang dipikiran oleh senimannya, sehingga seakan sukar kita membayangkan bahwa pada gilirannya ia akan menjadi karya yang mandiri.

Bagi orang-orang yang gemar melihat dan menikmati bagaimana seorang seniman bertungkus-lumus dalam mencipta, tentu saja kerja rekontruksi di atas kertas tersebut tak kalah berartinya dibanding karya akhir yang dituju senimannya. Mencermati perubahan yang terjadi di sepanjang proses membayangkandan-mengaktualisasikan gagasan telah menjadi keasyikan tersendiri, semacam terus mengingatkan kita bahwa sebuah karya yang memukau tak tercipta begitu saja, apalagi jatuh dari langit, dan seringkali tak sama persis dengan rencana semula, melainkan melewati proses bertarikulur yang menggairahkan antara gagasan, material, situasi, dst. Namun, sampai batas itu, kerja di atas kertas hanya dibaca sebagai salah satu titik saja dalam siklus kerja kreatif seorang seniman. Seberapapun menggairahkannya, ia masih berikatsimpul dengan karya yang dituju seniman, bahkan mungkin terlalu jauh untuk diposisikan setara, alihalih sebagai karya yang dilihat secara mandiri satu sama lain.

Dalam hal ini, pandangan Nashar telah menyelamatkan karya di atas kertas dari ketergantungannya pada karya yang dituju seniman: tak ada istilah pra dalam berkarya; sketsa, drawing, atau apapun itu, adalah sebuah karya-penuh, sekalipun dipisahkan bentuk tiga dimensinya. Bahkan, rancangan arsitektur, bagi Nashar, adalah sebuah karya mandiri, sehingga tak perlu dikaitkan dengan wujud bangunannya nanti. Dengan begitu, Nashar sesungguhnya sedang menegaskan bahwa setiap momen penciptaan dalam kerja kreatif seorang seniman mempunyai nilai yang sama penting, tanpa perlu dibedakan satu sama lain, apalagi meninggikan yang satu di atas yang lainnya. Seniman bekerja tidak untuk menciptakan karya akhir belaka, melainkan semenjak gagasan ditemukannya, ia telah mulai menciptakan karya demi karya, hingga nanti ditandai ujungnya dengan karya yang dituju. Artinya, gagasan atas sebuah karya, sampai serbaserbi apapun, baik itu coretan di atas kertas, rekontruksi melalui garis, dan seterusnya, sampai ke bentuk lukisan, patung, atau instalasi, dst. adalah sekumpulan karya dalam satu perjalanan mencipta.

Dengan kata lain, suatu hal berharga yang bisa kita maklumi dari pandangan Nashar tersebut adalah proses dalam mencipta tak kalah bernilainya dari hasil penciptaan itu sendiri. Maka, bila selama ini suatu pameran pra-karya berarti suatu pameran atas proses, kini kita bisa memperluas–bukan mengubah–cakupannya menjadi pameran yang berdiri sendiri.

Bila kita bandingkan dengan dinamika dalam sastra, karya-karya versi sebelum dicetak, yaitu karya yang belum disunting atau karya yang masih dalam bentuk perbaikan dengan catatan serta coretan dari editor, telah lama menjadi perhatian tersendiri bagi pembaca sastra. Meski karya-sedang-perbaikan tersebut tak pernah diterbitkan selayaknya karya siap-cetak, ia telah diposisikan sebagai dua karya yang berdiri sendiri tanpa harus terbebani oleh versi siap-cetaknya. Mungkin dalam medan sastra, pengarang menganggap manuskrip-sedangperbaikan tersebut sebagai bukan karya, tapi kehendak pembaca sangat berbeda, bahkan kajian parateks telah mewadahi kehendak pembaca tersebut untuk membaca manuskrip layaknya karya yang selesai. Dengan kata lain, gelanggang seni rupa dan seni sastra kita sudah membuka ruang baru bagi penikmatnya untuk melihat “proses” sebagai “karya” itu sendiri.

Namun, sayangnya, di arena sastra kecendrungan itu lebih cepat padam dibanding di seni rupa. Kini karya sastra lebih banyak disunting di komputer daripada dalam bentuk teks cetaknya, sehingga setiap penerbitan buku sastra hari ini nyaris tanpa meninggalkan bentuk parateksnya, “pra-karyanya”.

D

Pertemuan Ugo Untoro dan komik bukanlah suatu pertemuan di tengah perjalanan. Komik, dalam perjalanannya sebagai perupa, justru telah menjadi ekspresi artistik paling awal, selain wayang ataupun boneka. Komik populer kita di era 70-80an tak hanya menjadi pengelanaan masa kecilnya dalam dunia rupa, tetapi acapkali di kemudian hari digunakannya kembali oleh Ugo dalam ekspresi yang lebih politis, seperti menampilkannya untuk tujuan satire. Namun, dalam produksinya, karya komik Ugo tak terlalu banyak atau terangkai dalam kompisisi cerita yang utuh, melainkan hanya berupa potongan belaka atau sebagai sesuatu yang membayang, hilang-timbul, dalam karya lukisannya. Oleh karena itulah, pameran …marang ibu kali ini adalah sebuah ikhtiar untuk menciptakan karya komik dengan alur yang lebih panjang.

Karya-karya perupa Ugo Untoro yang terhimpun dalam pameran ini adalah usaha memperpanjang sekaligus membelokkan tradisi komik yang sudah berkembang begitu lama. Komik tentu saja hamparan yang terlalu luas untuk ditelusuri selangkah demi selangkah. Namun, setidaknya sebagai awalmula penerokaan, kita bisa memberi tanda beberapa aspek. Komik mungkin terlanjur menjadi khazanah budaya populer, salah satunya karena kemudahan dalam mengakses, baik bentuk-cetak ataupun kontenceritanya. Selain itu, karena diproduksi menggunakan mesin, kita tak berurusan lagi dengan apapun perbedaansignifikan antara satu komik dengan yang lainnya dalam satu produk yang sama.

…marang ibu dibuat Ugo Untoro secara manual di atas kertas dan bila dibuat replikanya secara manual kembali, maka kita akan menghadapi dua karya yang pada sisi tertentu berbeda. Garisgarisnya, baik garis pada gambar atau tulisan, tak akan pernah sama persisutuh, begitu juga ekspresi artisitik yang dimunculkannya. Bisa-bisa, yang terjadi justru dua karya yang serupa dan saling merespon masing-masing, bukan karya yang sama-sama menyampaikan hal yang sama berulangkali. Artinya, karya Ugo tersebut tampaknya mencoba membawa komik pada karya seni dengan fungsi khasnya yang dulu pernah dikandungnya penuhseluruh, yakni suatu “ke-eklusif-an” untuk menikmatinya secara langsung antara seniman dan penikmat tanpa diperantarai terlalu jauh oleh mesin cetak, pasar, dan seterusnya. Dengan begitu, kita tak hanya menikmati gambar dan cerita, tetapi yang tak kalah berharga, “kepengrajinan” yang dimiliki para perupa Ugo Untoro, yaitu bagaimana mereka berperkara dengan garis, bayang, bentuk, dll. dalam modus paling “purba” di atas kertas.

Komik, dalam bentuk paling umum, adalah interaksi saling menjelaskan antara kata-kata dan gambar. Itu semacam pola komunikasi yang seakan sudah lumrah dalam seni komik. Kata-kata, dalam komik, adalah perpanjangan linear dari gambar. Suatu ekspresi berbicara seorang karakter cenderung berbanding lurus dengan kata-kata yang ditorehkan sebagai kalimat percakapannya. Dengan kata lain, modus komunikasi komik populer adalah replika dari percakapan seharihari; pemaknaan semantik ataupun pragmatik dalam suatu percakapan bisa dikatakan tidak terlalu jauh ditujukan sebagai eksperimen mengolah ataupun mempertanyakan bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan gambar, tidak diletakkan sebagai ruang pertanyaan tentang definisi gambar apalagi garis itu sendiri; ia cukup memperdalam kemungkinan yang sudah ada, seperti meningkatkan ke-detail-an misalnya.

Komik Ugo Untoro tentu tampak berangkat dari model tersebut. Hanya saja, ia tak selalu melanjutkannya, melainkan membelokkannya pada alternatif yang berbeda. Hubungan antara gambar dan kata-kata tak selamanya linear, melainkan juga berjalan pada arah yang berbeda, dan perbenturan arah inilah yang kemudian menjadi titik-akses kita terhadap “makna” yang dimungkinkannya sebagai “cerita”. Hal tersebut terjadi karena dalam komik Ugo pun justru tak selamanya puas dengan ekspresi figuratif. Baik kata-kata ataupun gambar kemudian dicobanya hadir dalam ekspresi yang lebih simbolik, bahkan mungkin tampak lebih abstrak, alihalih saling menjelaskan. Begitu juga dengan komposisi antara gambar dan cerita yang bersifat tidak statis. Pada satu sisi, gambar mungkin mendominasi dan pada sisi lain kata-kata yang lebih banyak “bercerita”. Selain itu, komposisi kata-kata bahkan sering menyaru sebagai gambar dan komposisi gambar terkadang membuat kata-kata tak perlu lagi dihadirkan. Dengan begitulah, paling tidak, melalui pembacaan awalmula belaka, Ugo Untoro membawa kita pada kemungkinan-kemungkinan lain dari penciptaan komik, suatu ikhtiar menunjukan keterbatasan sekaligus jalur lain yang lebih luas untuk mengaitkan gambar dan kata-kata dalam konteks penciptaan komik.

 

 

Comments

No comment yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *